Rabu, 26 November 2008

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Kepada teman-teman pembaca novel "Antara Nasyid dan Nadia", mohon maaf, untuk beberapa waktu yang akan datang, Novel ini hanya penulis tampilkan beberapa bagiannya saja. Harap maklum ya... Kepada para penerbit yang berminat dengan novel ini, silahkan menghubungi penulis melalui alamat email brothergunt@yahoo.com
:-)

Minggu, 09 September 2007

Antara Nasyid dan Nadia (Prolog)


Aku berada dalam posisi yang dilematis. Apakah Nasyid atau Nadia yang harus kupilih? Keduanya begitu penting bagiku. Keberadaanku bersama teman-teman Nasyid sangat diharapkan. Sedangkan Nadia, aku tak tega bila harus meninggalkannya…..

Sang Munsyid (Bagian 1)

“Juara satunya adalah.....,” Juri yang membaca pengumuman itu berdiam diri sejenak. Bibirnya dijauhkan dari ujung mikrofon. Sepertinya dia memang sengaja membuat orang yang berada di gedung ini semakin penasaran.
Sementara itu, para penonton bersorak-sorak menyebut nama grup Nasyid yang mereka unggulkan akan memenangi perlombaan ini. Seandainya penilaian dilakukan melalui poling, Grup Nasyidku tentu akan menjadi pemenangnya. Separuh lebih isi ruangan dengan kompak menyebut nama Grupku.
AIR….AIR…AIR……
Memang, diantara sekian ratus penonton yang ada, hampir tidak ada satupun yang kenal dengan personil ‘air’. Namun penampilan kami sangat meyakinkan. Tidak ada suara sumbang yang muncul ketika kami mendendangkan Nasyid pilihan panitia. Penuh percaya diri, kami unjuk kebolehan dengan gaya panggung yang cukup menawan. Siapa yang melihat akan mengira bahwa kami adalah grup nasyid yang sudah berpengalaman. Padahal kami menganggap ini adalah suatu keajaiban yang sangat langka terjadi.
Juri itu kini kembali mendekatkan bibirnya ke ujung mikrofon, membuat seisi gedung tiba-tiba hening ketika menyaksikan hal itu. Ia seolah-olah menjadi seorang dirijen yang memimpin sebuah pertunjukan musik di gedung ini.
Dari struktur bangunannya, aku tahu kalau gedung ini sebenarnya terdiri dari tiga ruang yang antara satu ruang dan ruang yang lain dibatasi oleh sekat kayu. Sekat itu bisa dibongkar sewaktu-waktu jika ada acara yang memakan banyak tempat seperti sekarang ini. Gedung serbaguna. Ya, nama itulah yang menurutku sesuai dengan model gedung ini.
“Kami ulangi,” Juri itu menghela nafas sejenak. Aku jadi gemas karena kesal menunggunya.
“Juara satu, dengan perolehan nilai 255 adalah …….
Jantungku berdetak kencang. Lebih cepat dari pergerakan jarum jam yang tertempel di bagian depan gedung ini.
Nomor undi empat, AIR…..,”
Sorak-sorai dan tepuk tangan kembali memenuhi gedung itu. Kami saling bersalaman mendengar nama ‘air’ disebut. Keputusan juri ternyata sama dengan apa yang dipikirkan oleh sebagian besar penonton. ‘air’ layak menjadi juara.
“Kepada perwakilan dari ketiga pemenang diharapkan untuk maju ke depan.” Kali ini MC yang berbicara. Kami saling tunjuk untuk menjadi wakil penerima hadiah, karena manajer kami sedang mengantarkan Alfin ke suatu tempat. Setyo yang akhirnya mengalah. Ia pun segera maju ke depan untuk mengambil hadiah. Aku, Itok, Syahid, dan Arif masih tetap duduk di bangku penonton menyaksikan Setyo yang dengan tegap berjalan ke podium. Sayang sekali Alfin tidak ada di sini.
MC itu melanjutkan kata-katanya. “Juara pertama berhak mendapatkan Trofi Wali Kota dan uang pembinaan. …..”
Setyo menerima piala Walikota, mengangkatnya tinggi-tinggi, kemudian bersalaman dengan panitia penyelenggara segera setelah menerima amplop yang berisi uang pembinaan. Kami berempat hanya bertepuk tangan dari belakang.
“Eh, kayaknya piala itu cocok deh kalau dipajang di ruang tamu rumahku.” Aku berkata kepada Itok yang duduk di sampingku. Sekedar iseng.
“Jangan. Mendingan dititipkan di Kost-ku saja. Kan nggak terlalu jauh. Nanti kalau ada stand pengenalan UKM, kita pajang aja di stand-nya UKKI.” Syahid yang ternyata sempat mendengar perkataanku tidak sepakat dengan kata-kataku tadi.
“Dari pada gitu, mendingan langsung aja di pajang di Sekretariat UKKI. Lebih praktis, sekaligus bisa menambah koleksi piala di sana.” Kali ini giliran Arif yang bersuara.
“Sudah, jangan rebutan.” Itok berusaha melerai kami bertiga. “Ane punya ide yang lebih bagus.”
“Ide apa?” Syahid menimpali.
“Untuk sementara, Trofi itu kita pajang di Sekretariat UKKI. Bagaimana pun, grup Nasyid ini terbentuk karena jasa UKKI. Nah, beberapa kurun waktu setelah itu, tropi itu boleh dibawa pulang oleh salah seorang diantara kita, yang….” Itok menghentikan kata-katanya.
“Yang apa?” aku penasaran.
Itok tersenyum. Pandangannya melirik ke arah kami satu per satu.
“YANG PALING DULU NIKAHNYA!” Itok meneruskan kata-katanya dengan tegas, lalau mata sebelah kirinya dikedip-kedipkan. “Sepakat?”
Kami saling bertatapan sejenak. Tidak lama kemudian secara kompak kami mengatakan sebuah jawaban yang sama dengan pertanyaannya.
“Sepakat!”
*
Namaku Budi Gunawan. Aku anak ke 4 dari 4 bersaudara. Sebenarnya orang tuaku hendak memberiku nama Budi Pamungkas karena mereka menginginkan aku menjadi anak terakhirnya. ‘Pamungkas’ sendiri berasal dari bahasa jawa ‘pungkasan’ yang berarti terakhir. Namun setelah dipikirkan matang-matang, nama itu urung diberikan. Mungkin hal ini disebabkan karena orang tuaku masih ragu dengan keahlian dokter yang menangani KB. He-he.
Pada waktu TK, aku dipanggil Budi oleh teman-temanku. Namun ketika kelas satu, nama Budi-ku menjadi bahan olok-olokan. Wajahku sama sekali tidak mirip dengan tokoh ‘Budi’ yang ada dalam buku paket Bahasa Indonesia. Ketika aku ‘konsultasikan’ dengan Bapak, beliau tersenyum. “Ya Sudah, besok kamu dipanggil Igun saja ya?” Sejak saat itu, aku tidak mau lagi dipanggil Budi. Bila ada temanku memanggil dengan ‘Budi’, aku segera berteriak lantang; PANGGIL AKU IGUN, JANGAN BUDI!
Aku lahir tanggal 2 Mei 1985, hari Pendidikan Nasional. Tahu kan, kalau hari Pendidikan Nasional ditetapkan pada tanggal itu karena Ki Hajar Dewantoro lahir pada tanggal tersebut? Jika kita teringat nama Ki Hajar Dewantoro, tentu kita juga mengingat nama salah satu teman perjuangan beliau yang ikut membantu memajukan pendidikan di Indonesia. Dialah Edward Dowes Deker atau kita kenal dengan nama Setia Budi. Nah, nama depanku ‘nyontek’ nama pahlawan kita itu.
Nama belakang ‘Gunawan’ diberikan karena ayahku terinspirasi oleh salah satu tokoh wayang yang hidup di jaman Ramayana : Gunawan Wibisono. Wibisono adalah anggota keluarga kerajaan Ngalengka, adik dari Rahwana. Walaupun hidup di kalangan Raksasa, tetapi Gunawan Wibisono mempunyai paras dan hati ksatria. Ayahku ingin agar aku menjadi seseorang yang berjiwa ksatria, meski hidup di tengah-tengah ‘keangkaramurkaan’ dunia. cieee
Saat ini aku kuliah di UNY, tepatnya di Fakultas Ilmu Sosial. Sudah hampir satu tahun ini aku juga mempunyai aktifitas rutin di luar perkuliahan. Aku adalah pengurus Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) Jama’ah Al Mujahidin UNY. Rohisnya UNY.
UKKI merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa di UNY yang berada di bawah naungan kebijakan Pembantu Rektor III. Organisasi ini akan mendapatkan bantuan pendanaan setiap kali mengadakan kegiatan, jika mengirimkan surat permohoman dana kepada PR III yang dilampiri proposal kegiatan.
Memang, dana yang diberikan untuk membiayai kegiatan tidak selalu 100 persen dari dana yang diminta. Tapi inilah yang menjadi ‘seni’ dalam berorganisasi. UKKI harus pandai-pandai dalam menyiasati penggunaan dana yang terbatas untuk melaksanakan suatu kegiatan. Caranya bermacam-macam, bisa dengan mencari sponsorship, donatur, atau mengambil sebagian dari iuran anggotanya.
Di awal kepengurusan, UKKI sudah diminta menyerahkan daftar program kerja yang berisi kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan selama setahun kepengurusan. Nah, sebelum direalisasikan dalam kegiatan yang nyata, sebuah program kerja memerlukan banyak pertimbangan, pemikiran, biaya, serta SDM yang terkait dengan program kerja tersebut. Untuk itu, jauh hari sebelum kegiatan, pengurus UKKI melaksanakan agenda rapat pada hampir setiap minggunya. Agenda rapat tersebut biasanya dilaksanakan di sekretariat UKKI.
Sekretariat UKKI terletak di lantai II rektorat lama UNY tepat di bagian tengahnya. Namun karena ada sekat di bagian tengahnya itu, hanya ada satu tangga yang bisa dilewati untuk bisa sampai ke ruangan tersebut. Jika dilihat secara sekilas, maka ruangan itu terlihat paling ujung.
Beberapa UKM mempunyai ruang sekretariat yang berdampingan dengan Sekretariat UKKI. Ruangan-ruangan itu saling berhimpitan, memanjang dari Selatan ke Utara dengan pintu berada di sisi Utara-nya. Hampir setiap minggu aku berjalan menaiki tangga di rektorat lama, kemudian melewati lorong di depan deretan-deretan sekretariat UKM untuk bisa sampai ke basecamp-ku itu.
Sekretariat UKKI yang berukuran kurang lebih 3x8 meter itu semula tidak ada sekatnya. Kemudian oleh pengurus diberi sekat kayu pada seperempat sisi paling selatan menjadi sebuah bilik kecil sebagai tempat penyimpanan barang. Sedangkan tiga perempat bagian di sebelah utaranya dibagi lagi menjadi dua dengan hijab kain. Pada waktu syuro[1], hijab itu biasanya dibuka. Sisi sebelah selatan hijab digunakan untuk tempat duduk pengurus ikhwan [2] sedangkan sisi sebelah utaranya untuk yang akhwat. Mereka, ikhwan-akhwat menghadap ke arah papan whiteboard yang ditempel di sekat kayu. Setelah rapat usai, bisanya hijab ditutup kembali.
Adanya hijab di ruangan ini tidak lain adalah sebagai sarana untuk membatasi pandangan antara pengurus putra dengan putri selama berkomunikasi. Dengan demikian, kecil kemungkinan fitnah yang muncul meskipun terjadi interaksi antar pengurus pada satu ruang. Walaupun begitu, aku menjadi merasa sedikit aneh karena hingga saat ini, aku belum bisa membedakan nama-nama pengurus yang akhwat. Maklum, aku hampir tidak pernah bertatapan langsung dengan mereka.
Tapi itu tidak penting. Yang terpenting adalah, bagaimana pengurus bisa mengerjakan tugasnya dengan baik, solid, serta kompak, dengan tetap menjaga akhlaknya sebagai kaum muslimin.

*
Hari ini barangkali menjadi pertemuan formal bidang Seni Budaya Islam yang terakhir. Sebentar lagi akan diadakan Musyawarah Anggota tahunan UKKI. Dan kami, pengurus UKKI disibukkan dengan agenda pembuatan Laporan Pertanggungjawaban Bidang. Laporan tersebut harus sudah masuk ke meja panitia selambat-lambatnya satu minggu sebelum pelaksanaan Mustah. Itulah kenapa keberadaan kami di sekretariat lebih lama dari biasanya.
“Mas Heru, bisa Pinjam uang nggak?” aku berkata malu-malu dengan agak berbisik pada Mas’ul-ku di sela-sela kesibukan. Aku yakin beliau pasti bisa membantuku. Sudah tiga minggu aku tidak pulang kampung, dan saat ini uangku sudah habis. Sementara, keberadaanku di Jogja sangat dibutuhkan oleh beliau karena LPJ belum terselesaikan.
Mas Heru menghentikan kesibukannya. Dokumen-dokumen kegiatan masa lalu yang tadi dipegang kini dibiarkan tergeletak dihadapannya. Ia lalu mengambil dompet di saku belakangnya, lalu membuka benda yang telah lusuh itu. Tak lama kemudian, selembar uang lima puluh ribuan diacungkannya padaku. “Cukup?”
“Insya Allah,” Aku memasukkan uang itu ke dalam dompet. Namun aku merasa masih ada yang kurang.
“Akhi[3],” Aku kembali memanggil Mas Heru. Kali ini dengan panggilan ‘standar’ rohis. Panggilan seperti itulah yang bisa membuat kami merasa akrab. Persaudaraan Islam benar-benar terealisasikan dalam perkataanku.
“Minta pulsanya boleh tidak? Saya harus memberitahu orang rumah kalau minggu ini belum bisa pulang.” lagi-lagi aku berbisik kepada beliau.
“Aduh, afwan[4] Akh, pulsa saya pas kebetulan lagi habis” Mas Heru menjawab berbisik dengan senyum di wajahnya, seolah ingin menghibur dirinya sendiri yang sedang bokek pulsa. Ia Kemudian mengarahkan tubuhnya ke hijab yang sudah tertutup. Masih ada beberapa Akhwat yang duduk di balik hijab itu. “Akhwat ada yang punya pulsa? Saya minta boleh tidak?”
Mas Heru Benar-benar tulus ingin membantuku. Apa pun siap dilakukannya asalkan aku tetap berada di Jogja minggu ini. Meski dengan mempertaruhkan rasa malunya.
“Ada Akh!” Aku tidak tahu itu suara siapa.
Tidak lama kemudian, Salah satu akhwat menyerahkan HP kepada Mas Heru melewati sebelah bawah hijab. Mas Heru segera menyerahkan HP itu padaku. Tanpa menunggu lama, akupun segera menulis pesan singkat yang kutujukan untuk orang tuaku.
AWW. KAGEM BAPAK; “KENG PUTRA MBOTEN SAGED WANGSUL MINGGU MENIKA AMARGI TASIH WONTEN TUGAS INGKANG KEDAH DIPUN RAMPUNGAKEN” [5] IGUN
Kami kembali melanjutkan pekerjaan. Mas Heru mendiktekan laporan kegiatan berdasarkan dokumen yang dipegangnya, sedangkan aku menuliskannya di komputer. Aku tidak tahu persis apa yang dikerjakan oleh para akhwat. Mungkin mereka sedang membantu bendahara bidang membuat laporan keuangan bidang.
[1] Bahasa arab, syuro’ = rapat
[2] Bahasa arab, ikhwan = putra; akhwat = putri
[3] Bahasa arab, akhi = saudaraku (laki-laki). Ukhti = saudaraku (perempuan)
[4] Bahasa arab, afwan = maaf
[5] Jawa= untuk ayahanda; ananda tidak bisa pulang minggu ini karena masih ada tugas yang harus segera diselesaikan.

Masjid Al Mujahidin (Bagian 2)

Sebuah masjid berlantai dua berdiri kokoh di sela-sela bangunan kampus. Letaknya yang agak jauh dari perkampungan tidaklah membuat masjid itu tampak sepi. Selalu ada aktivitas di masjid ini.
Siang hari, di saat masjid yang lain sepi tak berpenghuni, kegiatan belajar-mengajar tutorial menjadi pengisi masjid ini. Tutorial adalah kegiatan asistensi agama Islam yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa muslim yang mengambil mata kuliah PAI. Tutorial ini diberikan bagi seluruh mahasiswa muslim UNY, mengingat 2 SKS mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang diberikan dirasa kurang cukup untuk membekali mahasiswa menjadi seoarang yang berakhlak Islami.
Malam hari, di saat masjid-masjid yang lain sudah terkunci, masjid Al Mujahidin justru menjadi tempat ‘rekreasi’ hati. Entah lembaga apa saja, baik dari luar UNY maupun lembaga internal kampus sering meminjam salah satu dari beberapa ruang di lantai dua untuk keperluan Mabit[1], atau hanya sekedar rapat.
Dari 5 waktu sholat, hanya sholat subuh yang diikuti oleh sedikit Jama’ah. Ini bisa dimaklumi karena letak masjid tersebut relatif jauh dari perkampungan penduduk atau rumah kost. Jama’ah subuh biasanya hanya orang ‘itu-itu’ saja, yaitu para takmir[2], penghuni sekretariat UKM tertentu, dan kadang ditambah oleh jama’ah Mabit. Hanya beberapa penduduk asli yang sholat Subuh di Masjid ini. Kebanyakan penduduk Karangmalang[3] lebih memilih sholat di Masjid Al Muttaqin. Tentu saja karena letaknya yang dekat dengan rumah mereka.
Berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya, Masjid Al Mujahidin Justru terlihat sepi pada waktu menjelang perayaan Idul Fitri sampai beberapa saat setelahnya. Takmir masjid yang rata-rata adalah mahasiswa memaksa mereka harus mengobati kerinduan pada keluarga pada saat seperti itu. Beberapa takmir yang masih ‘bertahan hidup’ di sana, kemungkinan terdiri dari orang-orang yang:
Pertama, rumah tempat tinggalnya berdekatan dengan kampus sehingga memungkinkan untuk bolak-balik dalam waktu cepat. Kedua, mereka yang rumahnya jauh, dan masih menyisakan tugas-tugas yang harus segera diselesaikan. Ketiga, mereka yang berasal dari luar pulau dan tidak ada uang saku untuk mudik. Keempat, orang yang benar-benar memiliki tekad untuk memakmurkan masjid, dan biasanya tetap teguh pada idealismenya. Kelima, mudah-mudahan tidak ada, Mereka yang punya masalah dengan keluarga atau kampung halaman. J
Lantai Satu Masjid ini terbagi menjadi empat ruang, meliputi ruang utama, sayap Selatan, Sayap Utara, serta serambi. Untuk keperluan shalat 5 waktu, ruangan yang dipakai biasanya hanya ruang utama ditambah ruang sayap Utara untuk jamaah akhwat. Sedangkan ruang sayap Selatan dan serambi masjid biasanya terisi penuh hanya ketika shalat Jumat saja.
UKKI Jama’ah Al Mujahidin adalah salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang paling banyak beraktifitas di Masjid tersebut. Mulai dari sholat, Kajian, hingga rapat, Masjid Al Mujahidin-lah tempat mereka berlabuh.
Sekretariatnya terletak kurang lebih 500 Meter dari Masjid Al Mujahidin. Kegiatan yang berbau keadministrasian atau rapat bidang biasanya dilakukan di sekretariat itu. Namun kegiatan lain yang membutuhkan tempat yang luas biasanya dilakukan di masjid Al Mujahidin. Walau jauh dari sekretariat, bukan menjadi halangan bagi pengurusnya untuk tetap dekat dengan masjid.
Tidak hanya UKKI saja yang beraktifitas di masjid ini. Di UNY ada 9 lembaga internal kampus yang sering beraktivitas di masjid Al Mujahidin. Selain UKKI, ada 6 Sub Kerohanian Islam (SKI) Fakultas, Tutorial, ditambah takmir masjid itu sendiri. Pada akhirnya, orang sulit membedakan antara pengurus UKKI, SKI, tutorial ataupun dengan Takmir Masjid. Nah, mungkin karena kebingungannya itulah akhirnya muncul istilah ‘Cah Mujahidin’, untuk menyebut seseorang yang sering beraktifitas di sana.
Orang merasa ngeri kalau mendengar kata Mujahidin. Ini karena persepsi mereka terhadap kata ‘jihad’ yang biasa diasosiasikan dengan medan pertempuran. Begitu pula banyak orang yang sedikit miris apabila harus berurusan dengan UKKI, meski baru melihat Kop suratnya saja. Umumya orang tidak mengerti kalau nama ‘Jama’ah Al Mujahidin’ adalah berasal dari nama masjid tempat organisasi ini sering beraktifitas.
*
UKKI baru saja mengadakan acara suksesi selama 3 hari. Acara tersebut lebih dikenal dengan istilah Musyawarah Anggota Tahunan atau Mustah. Mustah adalah rangkaian acara rutin tahunan yang dimaksudkan untuk meminta pertanggungjawaban kepengurusan tahun lalu, sosialisasi AD-ART, menyusun GBHK, serta memilih dan menetapkan Pengurus Harian yang baru. Yang membuat lama Mustah bukan karena banyaknya agenda dalam rangkaian acara tersebut, tetapi karena banyaknya perdebatan sesama peserta musyawarah.
“Pimpinan Sidang, Saya TIDAK SEPAKAT dengan susunan bahasa yang ada pada draf. Menurut saya, sebaiknya begini….” Itulah contoh kalimat yang biasa muncul dalam perdebatan Mustah.
Sang pimpinan sidang pun akan mengatakan kata-kata ‘standar’ pula. “Baiklah, saya akan menyampaikan dua opsi. Opsi pertama, sesuai dengan draf. Bisa disepakati?”
Reaksi dari peserta mustah bermacam-macam. Ada yang mengatakan setuju, ada yang mengatakan tidak sepakat, tapi ada juga yang kebingungan. Bila sudah dalam posisi bingung, maka peserta dengan terpaksa harus menyimak opsi yang kedua.
“Opsi yang kedua, sesuai dengan yang diusulkan akhi…., berbunyi……” Pimpinan sidang melanjutkan, “Bisa disepakati?”
Seringkali, hingga pada opsi ke-sekian, reaksi peserta masih belum bisa ‘satu’ suara. Jika sudah seperti itu, maka langkah yang harus ditempuh adalah proses lobi dari peserta yang mewakili pendapat yang berbeda. Semakin banyak bagian yang harus diselesaikan dengan proses lobi, maka semakin banyak waktu yang terbuang.

Setiap malamnya aku harus menginap di masjid Al Mujahidin dari hari Jumat sampai Senin. Aku nyaris tidak pernah beraktivitas dengan dunia luar, sehingga ketinggalan informasi-informasi terbaru. Salah satu hal yang paling tidak kuketahui selama Mustah ini adalah informasi tentang musibah besar yang menimpa Aceh.
Aku baru tahu adanya musibah itu sehari setelah Mustah usai. UKKI pun tidak banyak bergerak karena kepengurusan yang baru belum terbentuk. Sembilan belas pengurus harian terpilih yang belum saling mengenal dengan baik tidaklah cukup untuk membuat kami segera bertindak. Bisa dikatakan tidak ada sesuatu yang bisa aku berikan untuk masyarakat Aceh, kecuali hanya beberapa bait puisi yang kutulis untuk mengenangnya.

Belum usai penderitaanmu
Kini kau mengangis kembali
Belum sempat engkau berdiri
Tapi kau Malah jatuh lagi

Serambi Mekah,
Benca ini mengapa harus terjadi padamu
Kami di sini hanya menyaksikan
Betapa Kau menderita

Ayo kawan bersama ulurkan tangan kita
Untuk mereka yang tertimpa bencana
Harta, jiwa, atau hanya dengan doa
InsyaAllah karenanya
Berkurang beban mereka
Sedang amalan kita memperoleh ridho-Nya


Ayo kawan bersama kita ambil hikmahnya
Atas bencana yang menimpa negeri kita
Smoga kita tersadar
Bahwa hidup ini sementara
Dan nanti Akan diminta
Pertanggungjawabannya.

Aku memang tidak begitu pandai dalam membuat puisi. Namun dari puisi-puisiku, beberapa buah lagu kadang bisa tercipta. Aku lebih menikmati irama lagu-ku dari pada gaya bahasa liriknya.
Paling tidak ada beberapa keuntungan yang bisa aku dapatkan ketika membuat lagu dari puisi itu. Salah satunya adalah menghilangkan kepenatan setelah 3 hari terkungkung di acara Mustah.
Jika kita hanya berfikir secara matematis, Mustah jelas sangat membuang waktu, menguras energi dan pikiran, juga biaya dan tenaga. Namun kalau kita melihat sisi yang lain, banyak hal yang bisa kita dapatkan di sana. Wawasan kita jadi bertambah, pengalaman organisasi kita meningkat, dan tentu saja ukhuwah pengurus menjadi lebih terjaga. Hal yang sebelumnya tidak terduga olehku adalah bahwa rangkaian Mustah bisa melatih para pesertanya untuk percaya diri dalam mengemukakan gagasan, ide atau pendapat mereka. Yah, sewaktu-waktu ditunjuk menjadi wakil rakyat, tidak ada lagi kecanggungan dalam diri mereka.
[1] Malam bina iman dan taqwa; rangkaian acara pengajian pada malam hari, biasanya diteruskan dengan sholat malam pada dini hari.
[2] Bahasa arab; takmir=orang yang memakmurkan masjid, pengurus masjid.
[3] Nama sebuah Dusun di desa Catur Tunggal, Depok, Sleman. Di sinilah Lokasi gedung Kampus pusat UNY.

Sejarah 'air' (Bagian 5)

Aku mengenal nasyid sejak duduk di Sekolah Dasar. Kakak sulungku yang kuliah di Solo pada waktu itu apabila pulang ke rumah seringkali membawa kaset-kaset Nasyid. Kedengarannya aneh ketika pertama kali aku memutarnya.
Pada waktu itu kakakku membawakan kaset The Zikr, grup nasyid dari negeri Jiran. Hanya suara orang menyanyi diiringi oleh genderang yang terkesan sepi. Ternyata lama-lama aku menjadi suka dengan iramanya. Bahkan tidak lama kemudian hafal dengan syairnya.
Beberapa tahun kemudian, kakakku yang kuliah di Jogja membawa kaset Nuansa dan Snada. Aku merasa lebih aneh lagi, karena lagu yang dinyanyikan tanpa diiringi alat musik sama sekali. Tapi Entah kenapa, lagi-lagi aku menjadi suka dengan lagu-lagu tersebut. Padahal tadinya aku ngomel-ngomel ketika kakakku memutar kaset itu.
Aku semakin bisa menerima Nasyid. Bahkan ketika kakakku pulang, tidak segan-segan aku menanyakan apakah dia membawa kaset nasyid atau tidak. Tidak berselang lama, untuk pertama kalinya kakakku pulang membawa kaset nasyid yang diiringi alat musik modern. Teman sejati. Ya, lagu dari Brother inilah yang mengilhamiku untuk berlatih suara dua. Bahkan aku tidak ragu-ragu menerima tawaran anak Rohis di SMA untuk membentuk tim Nasyid, dengan bermodalkan kemampuan ‘suara-dua’ pada lagu ini. Akhirnya, aku menjadi salah satu personil tim nasyid di SMA pada waktu itu.
Pertamakali bergabung dengan UKKI UNY, aku ditarik menjadi pengurus bidang Seni Budaya Islam. Nah, salah satu program kerja bidang ini adalah Sanggar Kreatifitas Seni Islami, yang kemudian disingkat SAKSI. Sebenarnya yang dimaksud ‘seni Islami’ tidak sekedar nasyid. Namun karena keterbatasan SDM pada waktu itu, maka Bidang SBI hanya fokus pada kegiatan pelatihan nasyid.
Untuk membentuk sebuah tim nasyid bukanlah hal yang mudah. Tidak sekedar semangat untuk bernyanyi, tetapi juga kemampuan olah vokal dari para penyanyi yang bersangkutan. Tidak mungkin seseorang akan terhibur sementara suara sang penyanyi sumbang sana-sini. Aku yang pernah menjadi tim nasyid di SMA berkesimpulan, bahwa seseorang yang memiliki kemampuan bernyanyi pun bahkan belum tentu siap jika harus menyanyikan lagu secara bersamaan dengan nada yang berbeda. Apalagi jika tidak menggunakan alat musik.
Seorang dosen dari Fakultas Bahasa dan Seni UNY, Ibu Kun Setyati, bersedia membantu UKKI dalam proses seleksi. Beliau menggali kemampuan calon munsyid satu persatu dari berbagai segi.
Pertama, peserta diminta menirukan suara nada yang dibunyikan dari keyboard. Ujian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kepekaan calon munsyid terhadap nada. Bisa atau tidaknya seseorang dalam menirukan nada menjadi pertimbangan untuk meloloskannya menjadi personel tim nasyid UKKI. Kemampuan seperti ini kalau tidak salah dinamakan solfiego.
Kedua, peserta diminta menirukan irama keyboard dengan bertepuk tangan. Ujian ini berguna untuk mengetahui kemampuan peserta seleksi dalam mengatur dan mengendalikan tempo lagu.
Ketiga, Ibu Kun memainkan suatu rangkaian nada dengan keyboard, sedangkan peserta diminta untuk mencari suara duanya. Test ini berguna untuk mengetahui kemampuan peserta dalam improvisasi lagu. Dengan test ini, Ibu Kun juga akan tahu seberapa besar pengalaman seseorang dalam dunia tarik suara. Bila seseorang sebelumnya berpengalaman dalam berlatih vokal, misalnya pernah mengikuti paduan suara, maka ia tidak akan kesulitan dalam test ini.
Terakhir, peserta diminta untuk menyanyikan sebuah nasyid dengan suara terbagusnya. Tentu saja lewat test ini beliau ingin mengetahui seberapa bagus suara alaminya.
Seminggu setelah proses seleksi itu, muncul 6 nama yang berhak mendapatkan pelatihan nasyid yang difasilitasi oleh UKKI. Nama-nama itu sebagian besar sudah aku kenal, atau Paling tidak aku sudah tahu wajahnya. Mereka itu adalah :
Alfin
Aku tidak menyangka kalau anak ini ternyata mempunyai kemampuan vokal yang luar biasa. Aku bertemu dengannya pertama kali saat ada acara mabit di Masjid Mujahidin. Dia sebelumnya tidak pernah bercerita kalau sejak dulu adalah personel salah satu tim nasyid yang telah menjuarai berbagai perlombaan nasyid. Dari segi kemampuan vokal, aku jelas kalah jauh darinya. Nilai solfiegonya 9. Aku banyak belajar dari dia, karena pengalamannya memang lebih banyak dariku. Akhirnya Alfin menjadi pelatih kami yang kedua pada saat Ibu Kun tidak bisa hadir
Aku
Pada waktu seleksi aku adalah pengurus UKKI bidang Seni Budaya Islam. Oleh karenanya, saat itu aku merangkap sebagai panitia sekaligus peserta. Aku pun optimis bisa lolos seleksi karena apa yang diminta oleh Ibu Kun bisa kulakukan dengan baik.
Arif
Aku bertemu pertama kali dengannya pada waktu pertemuan pengurus perdana UKKI. Waktu itu sebenarnya Arif dimasukkan satu bidang denganku. Tapi entah kenapa Dia malah pindah di bidang Pengembangan Sumber Daya Ekonomi. Setelah pertemuan itu, aku tidak lagi bertemu dengannya hingga seleksi ini diadakan. Sama seperti Aku dan Alfin, Arif pernah menjadi personel tim nasyid di Sekolahnya.
Syahid
Syahid adalah pengurus UKKI bidang Pembinaan dan Kaderisasi. Walau sama-sama sebagai pengurus, aku jarang bertemu dengannya. Wajahnya sudah akrab di mataku sejak aku mengikuti kegiatan Studi Islam Dasar yang diselenggarakan oleh UKKI. Pada waktu itu Syahid sudah dipercaya menjadi panitia. Sebelum menjadi personel nasyid ini, kami tidak saling akrab.
Itok
Dari sekian orang yang lulus seleksi, hanya Itok yang asing di mataku. Ternyata dia bukan pengurus UKKI, tapi pengurus KMM (Keluarga Muslim Al Mustofa), salah Sub Kerohanian Islam yang berada di Fakultas Teknik. Selain KMM, SKI yang ada di UNY antara lain: HASKA di FMIPA, AR ROHMAN di FIS, Al HIDAYAH di FIK, KMIP di FIP, dan Al HUDA di FBS. Kegiatan yang dilakukan masing-masing SKI berorientasi Fakultas, sehingga wajar kalau aku tidak pernah bertemu dengan Itok sebelum ini.
Setyo
Nah, kalau yang ini aku pasti bertemu setiap minggu. Setyo adalah teman satu bidang denganku. Sebenarnya ia hanya menjadi cadangan. Lolos atau tidaknya menjadi tim nasyid masih dipertimbangkan. Ia pun kurang begitu suka dengan nasyid. Tetapi teman-teman dari bidang SBI bersikeras agar ‘kadernya’ bisa lolos menjadi tim nasyid. Akhirnya, Setyo resmi menjadi tim nasyid ini.
Dua bulan setelah seleksi, Tim Nasyid yang terbentuk harus sudah siap tampil pada acara Dislpaly UKM. Pada acara ini, setiap UKM diberikan kesempatan untuk unjuk kebolehan di hadapan mahasiswa baru. Seperti tahun-tahun sebelumnya, UKKI menampilkan haflah/atraksi yang diiringi dengan lantunan nasyid.
Setelah tampil pada acara itu, kami sering diminta mengisi acara-acara yang diselenggarakan UKKI. Permintaan untuk mengisi acara semakin banyak, termasuk dari luar kampus, setelah tim nasyid yang bernama ‘air’ ini mendapatkan kejuaraan lomba nasyid tingkat DIY & Jawa Tengah.
Kenapa bernama ‘air’? Ya, karena kami berharap mempunyai suara yang jernih, bisa menghilangkan ‘haus’, serta ‘mengalir’ sepanjang masa.
***
Jarkoni itu artinya bs ngajar ra bs nglakoni. btw, boleh curhat nggak?
Nadia mengirim pesan itu selepas shalat maghrib. Sore itu Nadia tidak jadi jalan bareng Tono. Ini adalah untuk ke-sekian kalinya Tono mengingkari janjinya. Tono adalah teman sekolah yang mengaku sebagai pacar Nadia. Nadia pun mengaku kalau dirinya juga pacar Tono. Begitulah, mereka berdua mengaku sebagai insan yang dilanda cinta. Namun setelah kejadian sore itu sepertinya Nadia berubah pikiran.
Nadia Tidak mempunyai teman curhat di rumahnya. Selama ini, Tono-lah yang menjadi tempanya mencurahkan isi hati. Sedangkan Sang ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya. Kesibukan itulah yang bahkan sampai membuat Ayah Nadia sering lupa dengan kebutuhan biologisnya.
Pesan baru muncul di HP Nadia
Boleh, mau curhat apa?
Nadia segera menuliskan uneg-unegnya.
Sudah lama aq jadian ama cwk. Awalnya sih km hapy2 saja. Tp akhr2 ini dia sprt g pduli ma aq. Aq dah sms ke dya minta diputs. Tp dya g pernh bls. Aq benci…benciiiiii!
Tidak lama menunggu, sms balasan segera datang
O, jadi slama ini Nadia punya pacar? Kakak punya solusi yang jitu dech. Tapi ini butuh persiapan! Mau?
Deg! Jantung Nadia terasa berdetak lebih kencang. Orang misterius itu menggunakan kata ‘kakak’ untuk menyebut dirinya. Nadia merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Ia tidak mempunyai kakak kandung. Ia hanya punya kakak sepupu, yang menurutnya tidak pernah memberikan perhatian padanya. Sementara orang misterius ini begitu perhatian dengan Nadia, walau hanya lewat SMS. Ia pun segera mengubah nama ‘????’ di phonebooknya menjadi ‘kakakku’.
Gmn solusinya kak?
Panggilan ‘gaul’ dari Nadia pun sudah tidak ada lagi. Orang misterius itu kini merasa lebih nyaman dengan panggilan ‘kak’ dari Nadia. Ia segera memberikan pesan balasan.
Kalau Nadia pake Jilbab, dijamin deh tuh cowok g bakal deketin Nadia lagi.
Kali ini detak jantung Nadia lebih kencang lagi dari sebelumnya. Ia menoleh ke arah cermin yang ada di dekatnya. Wajahnya yang putih terlihat semakin cantik dengan gaya rambut yang hitam terurai. Tidak pernah terbesit keinginan di benaknya untuk memakai jilbab. Menurut Nadia, kecantikannya itu tidak akan tampak kalau dia memakai jilbab.
Nadia teringat dengan kehidupnya sendiri. Dia bukanlah wanita yang solehah. Sholatnya saja masih bolong-bolong, tidak pernah ikut ngaji, bahkan ia terkenal sebagai cewek badung di kelasnya. Ia merasa tidak layak untuk memakai jilbab.

AWAS, AIDS!
Nadia pernah membuat tulisan seperti itu pada selembar kertas. Kemudian dengan doubletip, ia menempelkan kertas itu di punggung salah seorang teman laki-lakinya beberapa saat sebelum istirahat.
Ketika bel istirahat berbunyi, teman yang jadi ‘korban’ itu segera keluar ke kantin dengan membawa ‘aksesoris’ buatan Nadia tanpa menyadarinya. Gemuruh tawa selalu ada di belakangnya setiap kali anak itu melangkahkan kaki. Ia tidak menyadari kalau tawa itu ditujukan untuk dirinya, hingga ada siswa lain yang merasa kasihan dengannya, lalu memberi tahu hal itu. Tidak ada yang menyangka kalau itu adalah ulah seorang gadis.
Nadia juga pernah meletakkan kapur di kursi guru yang berlubang. Kapur itu tidak terlalu terlihat, sehingga guru tidak menyadari keberadaannya. Jika orang yang duduk dikursi itu bergeser dalam posisi duduk, maka ujung kapur akan mengenai kain yang dikenakannya. Hasilnya, sebuah lukisan kapur ‘alami’ menghiasi—maaf, pantat sang guru. Gelak tawa pun tersisa ketika guru itu meninggalkan ruang kelas.

Seandainya kakak tahu diriq yg sbenarny. Aq terkenl suka bikin onar di kls. Suka bikin gaduh. Suka ganggu teman. Bahkn guru jg kukerjain. Kayaknya tidak mungkn kl aq pakai jilbab.
Agak lama kemudian, Pesan dari Nadia di balas oleh orang misterius itu.
Pernh dengar crita ttg Hindun Istrinya Abu Sofyan? Hindn adl want palng jaht pd ms hdpny! Ia jg terknl kejam krn pd wkt perang uhud ia tega memakn hati Hamzah paman Nabi. Tapi pd saat pembebasan kota Makkah Nabi mengmpuninya. Ia pun ikut berdakwah kepada kaum wanita. Hasilnya? jazrh Arb mjd negeri mslm.
Belum sempat Nadia menanggapi, SMS baru masuk ke HP Nadia
Kebrkn Nadia tidak seberp bl dibanding dengan Hindun pada ms itu. Tp Hindun bisa berubah. Kakak yakin, Nadia juga bs berubah. Entah kapan. Btw, knp sih dl Nadia pacarn?
Nadia tertegun untuk sesaat sebelum membalas SMS itu. Dalam hatinya dilingkupi pertanyaan. Kenapa orang misterius itu rela menghabiskan banyak pulsanya untuk memberinya nasehat? Apa untungnya? Lagi pula, kecil kemungkinan bagi Nadia untuk menuruti nasehat orang itu. Ngapain pake Jilbab. Kayak orang Arab saja.
Karna Nadia butuh kasih sayang!

Nyantri (Bagian 13)

Beberapa waktu yang lalu aku dan Arif sempat mengikuti dauroh penerimaan santri baru Pondok Pesantren Takwinul Muballighin (PPTM). Kebetulan masa mondok Arif di pesantrennya yang lama sudah habis. Ia pun mengajakku untuk ikut serta belajar di PPTM.
Di akhir acara dauroh diadakan seleksi bagi para calon santri, meliputi tes tertulis, baca Al Quran, hafalan Al Quran, kultum, dan tes wawancara. Hasilnya, aku diterima menjadi santri di Pondok Pesantren itu. Aku bersyukur, walaupun pemahaman keislamanku masih kurang, aku masih bisa di terima di Pesantren ini.
Ada beberapa alasan bagiku sehingga akhirnya memutuskan untuk nyantri. Pertama, mempelajari ilmu agama adalah wajib hukumnya. Sementara aktivitasku di Kampus sebagian besar adalah memperdalam ilmu duniawi. Aktivitasku di UKKI kurasa belum cukup memberikan bekal ilmu agama kepadaku.
Kedua, sebagai pengurus UKKI, seharusnya aku memahami banyak tentang Islam. Namun aku merasa masih kurang dalam hal itu. Sedangkan di PPTM, berbagai mata kuliah keislaman yang belum pernah kudapat sebelumnya akan diberikan. Mata kuliah tersebut antara lain Bahasa Arab, Fiqih, Aqidah, Sosiologi dakwah, Kristologi, dan masih banyak lagi.
Ketiga, pribadi yang soleh biasanya dipengaruhi oleh lingkungannya. Bila aku masih bertahan di kost, maka aku akan bergaul seperti teman-teman kostku mengingat sebagian besar waktuku ada di sana. Sementara aku melihat banyak hal buruk yang masih ada di sana. Dengan tinggal di lingkungan santri, aku yakin diri ini bisa memiliki akhlak seperti mereka. Sama seperti penjual parfum yang menjadi beraroma wangi karena berada di sekeliling minyak wangi.
Keempat, karena tinggal di PPTM tidak dIgunut biaya alias gratis. Alasan inilah yang umumnya disembunyikan dalam-dalam oleh para calon santri ketika ujian wawancara. Gengsi. Padahal alasan inilah sebenarnya yang banyak menjadi motivasi utama untuk masuk ke PPTM. Siapa yang tidak mau kost gratis selama 1,5 tahun? Sudah begitu, ilmu kita dijamin bertambah.
Kenyataannya memang tidak semua mahasiswa muslim mau tinggal di Pondok Pesantren. Walau dibayar sekalipun. Aku juga tidak paham mengenai hal ini. Begitu pula, orang akan berfikir 2 kali ketika hendak masuk ke PPTM. Selain karena harus lolos seleksi, banyak syarat dan peraturan yang harus di patuhi di pesantren ini. Tidak boleh merokok, tidak boleh pacaran, tidak boleh ini dan itu, tapi yang paling diingat oleh teman-temanku adalah…. Tidak boleh menikah selama mengikuti pendidikan di PPTM. Hmm…
*
Peraturan di pondok sangat ketat. Pengurus pondok menginginkan agar seluruh santrinya membiasakan hidup disiplin. Sebenarnya aku sudah dilatih untuk hidup disiplin pada waktu sekolah di SMA. Tetapi kesibukanku di Kampus membuatku terkadang harus banyak melanggar peraturan pondok.
Santri diharuskan sudah berada di pondok sejak jam 18.00, dan baru boleh meninggalkan pondok pada pukul 07.00. Jika ada keperluan, santri boleh keluar malam pada pukul 21.00 atau setelah kajian usai. Tidak jarang aku, Arif, serta santri-santri lain memperoleh sanksi karena sering melanggar aturan pondok. Memang, semuanya butuh proses. Begitu pula untuk menegakkan kedisiplinan di pesantren mahasiswa.
Meskipun aku dan Arif tinggal di PPTM, ‘air’ masih menyempatkan diri untuk latihan. Sebelumnya, kami biasa latihan beberapa saat setelah shalat isya’. Namun karena aku dan Arif harus mengikuti kajian dulu, maka latihan dimulai setelah jam 21.00.
Tidak jarang kami menolak permintaan untuk pentas bila waktu pementasan berbenturan dengan jadwal kajian di pondok. Pada mulanya teman-teman ‘air’ agak kecewa dengan hal ini. Mereka menganggap tidak ada gunanya latihan apabila tidak dipentaskan. Namun akhirnya mereka bisa maklum dengan kondisi diriku dan Arif. Kami pun tetap konsisten dengan latihan meski tidak menghadapi pementasan. Kami yakin, beberapa waktu yang akan datang, setelah Aku dan Arif keluar dari pondok, ‘air’ bisa kembali bangkit. Kami Optimis, Kelak Jogja akan berguncang dengan beriaknya ‘air’ kembali.
*
Di Pondok, ada salah seorang santri yang kebetulan pernah bergabung dengan gerakan ‘en-sebelas’. Dia menyadari kesesatan gerakan tersebut setelah harta bendanya ludes terjual. Disamping itu, dia disadarkan oleh seorang mahasiswa asal Sunda yang mengaku cucu dari salah satu pengikut Kartosuwirjo.
Namanya Aden. Mahasiswa asli Ciamis yang kuliah di UGM. Kakeknya adalah pendiri Pesantren di kampungnya. Pemahaman keislamannya hebat. Bacaan Al Qurannya bagus, hafalannya banyak. Wajar, semenjak kecil ia sudah digembleng oleh keluarganya di lingkungan pesantren. Dia sempat banyak bercerita denganku ketika mampir di pondok.
“Tahukah Ente, kalau gerakan NII yang sekarang ini muncul sebenarnya sudah tidak sejalan lagi dengan misi yang dicita-citakan Kartosuwirjo?” Aden mengawali ceritanya. Aku Hanya geleng-geleng kepala. Aden pun melanjutkan kisahnya.
“Sebenarnya Kartosuwirjo memiliki latar belakang keislaman yang baik. Dia adalah panglima Hizbullah wilayah Jawa Barat. Ente kan tahu, Hizbullah adalah salah satu komponen pejuang yang ikut berjasa melawan penjajah. Mereka terdiri dari campuran berbagai ormas Islam pada waktu itu.
Pada tahun 1946, terbentuk Tentara Keamanan Rakyat, dan Hizbullah menjadi salah satu bagiannya. Nah, misi hizbullah tidak lain adalah untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini, dengan menghapuskan penjajahan dari tanah air kita”
“Lantas, kenapa Kartosuwirjo dianggap pemberontak?” aku memotong cerita Aden.
“Pada tahun 1948, ketika terjadi Perjanjian Renville, daerah yang dikuasi rakyat Indonesai semakin kecil karena daerah inclave harus dikosongkan. Nah, Kartosoewirjo tidak mau mengosongkan Jawa Barat. Dia tetap berada di sana untuk melawan Belanda” Aden berhenti sejenak. Ia melihatku yang bersiap-siap hendak menanyakan sesuatu.
“Kenapa Kartosuwirjo tidak patuh pada pemerintah Indonesia? Bukankah perjanjian Renvile adalah kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Belanda?”
Aden menghela nafas panjang, “Relakah Ente, setelah berjuang mati-matian mempertahankan wilayah, tiba-tiba harus menyerahkan wilayah itu begitu saja hanya karena sebuah tanda tangan? Belanda itu sangat licik, mereka memanfaatkan otoritas pemerintah Indonesia untuk menguasai Jawa Barat”
“Licik?”
“Ya, dengan perjanjian Renvile, maka pasukan Kartosuwirjo harus melawan 2 pihak sekaligus, yaitu Belanda dan pasukan Indonesia yang pada waktu itu sudah bernama TRI. Sebenarnya keberadaan Kartosuwiryo di Jawa Barat pun sudah mendapatkan restu dari Panglima Besar Soedirman. Kemungkinan terjadi miss komunikasi antara Jendral Soedirman dengan presiden, sehingga akhirnya Kartosuwirjo dianggap pemberontak.”
“Apa buktinya kalau Jendral Soedirman memberi restu kepada Kartosuwirjo?” Aku penasaran dengan cerita Aden yang tidak ada dalam buku-buku sejarah yang pernah kubaca.
“Pertama, Jendral Soedirman tidak memerintahkan untuk menumpas pasukan Kartosuwirjo. Yang menumpas DI/TII adalah Jendral AH Nasution dan Ibrahim Adji. Kedua, pada waktu Jendral Soedirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di stasiun Tugu Yogyakarta beberapa saat setelah perjanjian Renvile, beliau diwawancarai oleh seorang wartawan tentang siasat perjanjian Renvile yang dianggap merugikan Indonesia.” Aden bernafas sejenak.
“Jendral Soedirman mengatakan bahwa beliau telah menempatkan orang ‘kita’ di sana. Yang dimaksud dengan orang ‘kita’ oleh Jendral Soedirman ternyata adalah Kartosuwiryo. Ini diketahui setelah pada tahun 1977 terbit buku kecil berjudul ‘Himbauan’ yang ditulis oleh Bung Tomo”
Pembicaraan antara aku dan Aden sudah terlalu jauh. Aku berniat untuk kembali ke pokok bahasan awal. “Ente tahu bagaimana kemunculuan NII di masa sekarang ini? Kenapa tadi ente mengatakan kalau mereka sudah tidak satu misi lagi dengan Kartosuwirjo?”
Aden berfikir sejenak. Mungkin sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya kepadaku. Menurutnya, Kartosuwirjo adalah orang yang pemahaman keislamannya bagus. Tetapi gerakan NII yang muncul belakangan ini dipertanyakan keislamannya. Mereka tidak shalat, tidak menjaga hijab, dan masih banyak lagi perilaku mereka yang justru bertentangan dengan Islam.
“Setelah Kartosuwirjo dihukum mati, pengikutnya terpecah belah menjadi dua” Aden memandangiku seolah-olah ingin memastikan kata-katanya benar-benar kudengarkan, “Sama seperti gerakan Islam yang lain, dalam perjuangannya selalu disusup-susupi oleh pihak yang ingin memecah belah. Akhirnya gerakan itu terpecah menjadi 2 golongan. Golongan pertama tetap konsisten dengan nilai-nilai Islam, sedangkan golongan yang lain sudah menyimpang dari nilai-nilai Islam.”
“Misalnya?” Aku memotong lagi. Namun kali ini Aden tidak berfikir panjang untuk menjawab pertanyaanku.
“Misalnya Serikat Islam. SI adalah organisasi Islam yang cukup besar di tanah air dengan pimpinan HOS Cokroaminoto. SI ini kemudian terpecah menjadi SI Putih dengan pimpinan yang tetap, dan SI Merah dengan pimpinan Semaun. Pada mulanya, Semaun adalah pimpinan SI Semarang. Namun karena sering melakukan kontak dengan Kelompok Cahaya Nederland, maka dia terpengaruh oleh aliran Sosialis Marxis. Itulah kenapa SI merah yang dipimpinnya juga berhaluan Sosialis Marxis. Sangat tragis, karena organisasi yang mengaku Serikat Islam itu akhirnya menjadi Partai Komunis Indonesia, yang ajarannya jelas sangat bertentangan dengan Islam.
Ane takut gerakan-gerakan yang mengaku berasas Islam sekarang ini ternyata justru ingin menghancurkan Islam itu sendiri.” Aden mengakhiri ceritanya.
“Wah, ceritamu menarik sekali. Begini Den, aku punya temen juga yang sudah bergabung ke En-Sebelas” Aku langsung to the point, takut pembicaraan kami akan semakin jauh.
“En-I-I?”
“Ya.” Aku membenarkannya. Aden tidak terbiasa dengan istilah En-Sebelas. “Bisa bantu kami untuk mengatasi masalah ini?”
Dengan mantab Aden menjawab, “Serahkan saja pada ane!”

KKN-PPL (Bagian 15)

Purworejo, Juni 2006

Aku sedang melaksanakan tugas KKN-PPL di Purworejo. Bagi mahasiswa UNY—khususnya yang jurusan kependidikan—kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pelaksanaannya digabungkan dengan kegiatan Praktik Pengenalan Lapangan atau lebih dikenal dengan PPL. Biasanya kegiatan itu dilaksanakan di sekolah-sekolah atau kantor-kantor secara serentak.
Kebanyakan mahasiswa KKN-PPL ditempatkan di daerah asal masing-masing. Namun kebijakan ini hanya berlaku untuk orang yang berasal dari Jogja, Klaten, dan Purworejo. Hal ini karena penempatan KKN-PPL hanya meliputi tiga wilayah itu.
Aku ditempatkan di salah satu SMA Negeri di Purworejo yang jaraknya sekitar 24 Kilometer dari rumahku. Jauh memang. Tapi hikmahnya, kini aku sudah dipercaya membawa motor sendiri. Setiap hari aku harus mengendarai sepeda motor sejauh itu pada waktu pagi dan sore hari. Pada waktu malam hari, aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah untuk istirahat. Tidak ada lagi cerita tentang nasyid, tidak ada lagi kenangan kampus.
***
Deg. Detak jantung Nadia terasa semakin cepat. Berkali-kali ia menatap pergelangan tangannya menatap jam tangan cantik itu.

“Wah, Cantik sekali jam tangannya. Persis kaya’ yang punya”. Suatu ketika Tono memberi komentar beberapa saat setelah Nadia memakai jamnya untuk pertama kali. Nadia mendapatkan jam itu dari ayahnya karena berhasil memperoleh peringkat 3 di kelasnya.

“Kalau Nadia bisa rangking satu, Ayah akan ngasih hadiah yang lebih heboh lagi”. Nadia masih mengingat pesan Ayahnya pada waktu memberikan jam tangan itu. Ia menjadi termotivasi manakala mengingat pesan itu.

Jam yang melingkar di pergelangan tangan Nadia tidak begitu istimewa. Sama seperti jam tangan yang lain: Ada tiga jarum dengan kecepatan berbeda. Masing-masing menunjukkan detik, menit, dan jam. Di sekeliling jarum jam tersebut juga ada angka satu sampai dua belas yang masing-masing berjarak tigapuluh derajad. Barangkali Casing berwarna pink yang membuat sang pemilik tampak lebih anggun.
Nadia kembali menyibak lengan baju yang menutupi jam tangannya. Jarum panjangnya sudah menunjuk ke angka lima. 06.25. Keringat dingin dirasa meresap ke pori-pori bajunya. Nadia menoleh ke arah teman sebayanya yang sama-sama sedang menunggu angkutan. Tidak ada kekhawatiran yang nampak pada teman-teman di sekitarnya itu. Hanya Nadia yang terlihat sangat gelisah.
Kegelisahan Nadia memang sangat beralasan. Selain jarak dari rumah ke sekolah yang 12 kilometer, kebijakan sekolah dalam masalah kedisiplinan membuatnya harus lebih tertib. Hari ini ia tidak ingin terlambat, yang dengan keterlambatan itu angka ‘Indeks Pelanggarannya’ jadi bertambah.
Sekolah tempat Nadia menuntut ilmu itu terkenal dengan kesiplinan civitasnya. Tidak sebatas pada siswa dan guru saja, bahkan tukang kebun pun ‘tunduk’ pada aturan sekolah. Indeks Pelanggaran akan diberikan kepada setiap siswa yang melakukan pelanggaran dalam bentuk angka. Besar kecilnya angka pelanggaran didasarkan atas berat ringannya pelanggaran. Semua jenis pelanggaran serta angka pelanggaran tersebut sudah dipublikasikan sejak masa awal siswa masuk ke sekolah itu. Adapun pengontrolannya dilakukan sepenuhnya oleh guru BK.
Untuk mengingatkan agar siswa tidak melakukan pelanggaran, jenis-jenis pelanggaran serta skornya ditempel di lokasi-lokasi strategis. Para siswa pun menjadi hafal betul setiap skor yang akan didapat jika melakukan pelanggaran.
Tidak memakai perlengkapan yang sesuai 5
Terlambat 5
Tidak mengikuti upacara bendera 10
Bolos sekolah 10
Berkelahi 30
……..
Hamil / menghamili 100
Kumpulan skor yang diperoleh siswa yang melanggar peraturan itulah yang disebut Indeks Pelanggaran. Bisa dibayangkan apabila seorang siswa terlambat masuk kelas dua kali dalam seminggu, maka dalam waktu kurang dari tiga bulan, Indeks Pelanggaran yang didapatkan sudah 100. Itu belum ditambah pelanggaran-pelanggaran lain yang sewaktu-waktu bisa dilakukan. Padahal salah satu kebijakan dari sekolah adalah apabila siswa mendapatkan IP lebih dari 100, maka ia harus dikeluarkan dari sekolah.
Selama siswa tidak keterlaluan, pelanggaran ringan biasanya tidak menyebabkan mereka dikeluarkan dari sekolah. Hal ini karena kerja keras BK dalam memonitoring perilaku siswa. Setiap jumlah IP tertentu, pihak BK akan menghubungi siswa yang bersangkutan kemudian memberikan peringatan. Peringatan yang diberikan biasanya bertahap mulai dari peringatan lisan, tertulis, sampai pemanggilan orang tua. Biasanya setelah siswa berurusan dengan BK, ia akan memperbaiki dirinya. Oleh karena itu, hanya siswa yang benar-benar nakal yang mendapatkan sanksi berat.
Siswa terlambat biasanya langsung diberikan sanksi untuk mengabsen beberapa ruang kelas. Setiap sebulan sekali, guru BK akan masuk ke dalam kelas dan memanggil satu-persatu siswa yang mempunyai IP pada bulan itu. Kemudian siswa tersebut diberikan sanksi berdasarkan tingginya IP. Ada yang membersihkan WC, mencabuti rumput, dan masih banyak alternatif lain. Nah, semakin banyak siswa melakukan pelanggaran, maka pekerjaan Pak Bon akan semakin ringan. Wajar kalau akhirnya tukang kebun itu akhirnya juga ikut berdisiplin.
Jam 06.40. Nadia hanya bisa mendesah saat teman-temannya masuk ke angkutan KOPADA. Sebagian besar teman sebaya di kampungnya bersekolah di SMK atau SMA yang lokasinya dilewati jalur KOPADA itu. Sebenarnya bisa saja Nadia naik KOPADA dan turun di suatu tempat, kemudian disambung dengan KOPADA yang melewati depan sekolahnya. Namun itu pemborosan, baik waktu maupun biaya.
Alhamdulillah. Nadia merasa lega ketika melihat bus ‘tiga perempat’ jurusan Magelang Purworejo. Bus itulah yang nantinya akan melewati depan sekolah Nadia : SMU Negeri 7 Purworejo.
Bus itu mengurangi kecepatan ketika Nadia melambaikan tangannya. Tak lama kemudian berhenti tepat di depan Nadia berdiri. Gadis itu menghela nafas panjang setelah melihat ke dalam bus. Sudah penuh, tidak ada lagi kursi yang nganggur. Dengan sangat terpaksa, Nadia berdiri di bagian belakang bis yang sesak itu. Roda pun berputar dan bergerak menelusuri jalan yang berliku.
***
“Empat dua belas, Empat dua belas!” sang kernet berteriak lantang memberikan kode kepada penumpang yang hendak turun di pertigaan Yonif 412. Jarak antara pertigaan itu dengan zebracross yang mengarah ke sekolah Nadia hanya sekitar 20 meter. Sementara itu, di dalam bis ada siswa SMK PN yang turut menumpang. SMK PN terletak tidak jauh dari pertigaan itu. Oleh karenanya, sopir bis lebih memilih menghentikan kendaraannya di depan pertigaan 412. Tentu saja Nadia harus berjalan beberpa menit lebih lama untuk bisa sampai ke sekolahnya.
Setelah menyebrang melewati zebracross, sampailah Nadia di Jalan Ki Mangun Sarkoro. Di jalan itu, dari ujung timur ke ujung barat disejukkan oleh rindangnya pohon ketepeng. Siapapun yang berdiri di sepanjang jalan tersebut tidak akan merasakan teriknya sinar matahari. Bangunan-bangunan kuno yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda berdiri kokoh di sebelah Utaranya. Saat ini, bangunan-bangunan itu menjadi rumah dinas untuk para guru dan tenaga kependidikan.
Di sebelah selatan jalan, sebuah komplek sekolah dibatasi oleh pagar besi yang mengelilingi seluruh penjuru. Tidak berbeda dengan gedung di seberang jalan, gedung sekolah ini juga memperlihatkan gaya arsitektur masa lalu. Bangunan sekolah itu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bangunan-bangunan model sekarang. Dinding-dindingnya tebal dengan pintu dan jendela yang berukuran super besar terbuat dari pohon jati. Engsel maupun pengunci pintu dan jendela terlihat sangat unik. Barangkali sudah tidak dijumpai lagi toko bangunan yang menyediakan perlengkapan tersebut dengan merek yang sama. Maklum, Belanda membangun gedung itu sekitar tahun 1915. diperkirakan gedung tersebut masih mampu berdiri kokoh sampai kurun waktu 150 tahun lagi.
SMA Negeri 7 Purworejo. Nadia menatap tulisan yang bertengger di atas gerbang sekolah itu hampir setiap hendak melewatinya. Ia sangat bangga masuk ke sekolah yang tergolong favorit itu. Di akui, ia sempat kecewa ketika dahulu tidak diterima masuk SMA N 1, SMA paling favorit di kotanya. Namun kekecewaan itu berangsur-angsur berubah menjadi kebanggaan tersendiri setelah ia merasakan aktivitas belajar di sana.
SMUNVEN. Begitulah siswa-siswa menyebut sekolahnya dengan istilah gaul. Pada awalnya sekolah itu bernama SMU 2 Purworejo. Kemudian atas kebijakan Bupati, namanya dirubah sesuai dengan urutan waktu berdirinya. Dibandingkan dengan sekolah-sekolah menengah lain di Kabupaten Purworejo, sekolah tersebut masih berusia relatif muda. Belum genap 15 tahun. Sebelumnya, gedung sekolah itu digunakan untuk kegiatan belajar mengajar Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
Walau berusia jauh lebih muda dibanding SMU 1, prestasi smunven tidak terpaut terlalu jauh terpaut terlalu jauh. Jika kita melihat hasil belajar pada sekolah-sekolah di kabupaten itu, SMU 1 memang lebih baik dari pada Smunven. Namun kalau kita membandingkannya dengan input NEM siswa yang masuk ke sekolah itu, maka proses pembelajaran di SMU 7 bisa dikatakan lebih berhasil.
“Minggir-Minggir!”
Nadia kaget mendengar suara liar itu. Seorang siswa dengan sepeda motor berkecepatan tinggi hampr saja menerjang. Ia pun segera melompat ke tepi jalan.
Pintu gerbang di mana Nadia mulai memasuki komplek sekolah ini adalah satu-satunya pintu yang digunakan oleh penghuni sekolah untuk keluar masuk. Beberapa langkah setelah melewati pintu gerbang, di sebelah kirinya terdapat pos satpam. Dengan hanya satu pintu gerbang yang melewati pos satpam itulah maka keamanan sekolah bisa dikendalikan. Namun dengan hanya satu gerbang itu, maka jalan masuk menjadi terasa sempit. Apalagi pada saat sebelum masuk atau setelah bel pulang berbunyi. Maklum, ratusan siswa harus berjubel pada pintu itu untuk di saat yang hampir bersamaan. Jika tidak hati-hati, maka pengendara sepeda motor bisa menabrak siswa yang berjalan kaki.
“Hati-hati dong kalau jalan!” Siswa yang mengendarai motor itu kembali berteriak. Teriakannya bahkan lebih jelek dari suara kenalpot motornya yang sudah dibobol itu. Sebenarnya Nadia bisa saja membalas dengan kalimat “Yang harus hati-hati itu kamu”, tapi kalimat itu hanya dipendamnya di dalam hati.
Nadia masih melangkahkan kakinya. Sementara itu, sang pengendara motor malah menghentikan motornya persis di depan Nadia.
Terdengar gerutuan dari siswa-siswa yang berjalan kaki. Rupanya mereka terganggu dengan adanya sepeda motor yang berhenti di jalan. Yang empunya motor turun dari kendaraan, kemudian berbalik ke arah Nadia. Ia membuka helmnya. Dari gayanya yang premanis, sepertinya anak itu hendak memaki-maki Nadia.
Kini tampak dengan jelas di depan Nadia cowok yang sudah lama dikenalnya. Tono, teman ‘istimewa’ pada waktu kelas dan kelas dua. Tono sebenarnya memang hendak meluapkan emosi pada gadis yang hampir saja dicelakainya itu. Namun luapan emosinya segera menguap ketika ia mengetahui siapa yang ada di hadapannya itu.
Sebaliknya, kini Nadia jadi tahu sifat asli Tono yang selama ini tersembunyi di balik ‘helm’ itu. Di mata Nadia, dahulu Tono adalah pribadi yang romantis, baik hati, peduli, dan mencurahkan kasih sayang yang sangat besar padanya. Ternyata semua itu hanyalah topeng belaka.
(Kalau dibuat drama televisi, musik latarnya lebih cocok dengan ‘nasyid’-nya Paterpan : Buka dulu topengmu.. buka dulu topengmu…” J )

“Nadia?” tono terheran-heran melihat cewek berjilbab di depannya. Ia tidak mengira bahwa siswa di balik kerudung yang dibentaknya itu adalah Nadia. Seingat Tono, ia terakhir bertemu dengan Nadia pada waktu Class Meeting menghadapi kenaikan kelas. Pada waktu itu Nadia belum memakai Jilbab. Kini, tahun ajaran baru telah dimulai. Entah mimpi apa yang membuat Nadia seperti itu.
Kini giliran Nadia yang menghentikan langkahnya. Ia tersenyum manis, lalu bermaksud melanjutkan langkah kakinya.
“Nadia…”. Suara Tono agak memelas. Sangat berbeda dengan teriakannya tadi. Nadia pun tidak jadi melangkahkan kakinya. “Sorry Nad, aku yang salah…”
Nadia berhenti sejenak, lalu mengangkat bahunya. “Sebelum Kamu meminta maaf pun aku sudah memaafkanmu…”
“Yes…”, Tono mengepalkan tangan seperti gaya seorang straiker sepak bola yang telah membobol gawang lawannya. “Eh, Nadia. Kelas kamu ada di dekat tempat parkir. Sekalian bareng aku ya?”
Deg. Jantung Nadia bertetak kuat. Hatinya bergejolak hebat. Ia teringat masa lalunya. Nadia adalah dua diantara sekian siswa-siswi Smunven yang terlibat dalam ‘nyanyian merah jambu’. Tidak ada yang tahu bagaimana mulanya virus merah jambu tersebut menyebar, namun tiba-tiba saja mereka sering kelihatan berdua di suatu tempat, jalan bareng, atau sekedar makan bareng di kantin.

“Masih kelas satu es-em-a aja udah pacaran, kalau udah gede mau jadi apa?” suatu ketika Pak Subagyono, guru Fisika kelas dua menegur ketika Tono hendak mengantarkan Nadia pulang. Waktu itu mereka memang sempat menjadi bahan pembicaraan para guru.
“Jadi pengantin Pak,” Tono menjawab dengan enteng sambil memberikan helmnya ke Nadia, kemudian segera tancap gas. Dibelakangnya, Nadia tersenyum dan menganggukkan kepala kea rah Pak Subagyono yang mulutnya terlihat membentuk huruf ‘o’.

Smunven adalah kampus paling luas di Purworejo. Di tambah dengan perumahan guru, maka luas keseluruhannya mencapai 6,4 hektar. Pada waktu masih Kelas XI, ruang kelas Nadia terletak di gedung paling barat di sekolah itu. Untuk mencapainya, Nadia harus berjalan melewati tepian lapangan sepak bola, kemudian melewati jalan diantara lapangan voli dan lapangan basket, barulah sampai di taman depan kelas. Kurang lebih dibutuhkan waktu lima menit untuk berjalan dari pintu gerbang ke ruang kelasnya. Tapi Nadia hampir tidak pernah melakukannya karena Tono selalu setia untuk mengantarnya. Tidak ada yang tahu dengan pasti kenapa sikap Nadia tiba-tiba berubah pagi ini.
“Ayo!” Tono kembali menawarkan ‘jasa’-nya.
Nadia bingung harus mengatakan apa pada Tono. Rupanya Tono masih menganggap Nadia sebagai kekasihnya. Nadia memang belum pernah mengatakan putus hubungan dengan Tono. Namun perubahan pada diri Nadia sebenarnya sudah bisa dibaca oleh Tono bahwa Nadia sekarang sudah insyaf. Karena Nadia sudah menutup auratnya, berarti Nadia harus menjaga hubungannya dengan lawan jenis. Tentu saja anak itu seharusnya sudah tidak berpacaran atau berboncengan lagi dengan Tono.
Bukan berarti Tono tidak peka dengan penampilan Nadia yang baru. Ia paham benar bahwa cewek berjilbab tidak akan mau berboncengan dengan yang non muhrim. Bahkan bersentuhan pun tidak mau.

Tono masih ingat ketika seluruh siswa di kelasnya bersalaman beberapa saat setelah lebaran. Aisyah, salah satu cewek berjilbab di kelasnya menolak untuk salaman dengan siswa cowok termasuk dengannnya. “Gimana sih Aisy, kok nggak mau salaman denganku. Tanganku halus lho”
“Bukan halus atau tidaknya Ton! Aisy tuh bakal alergi kalau nyentuh tangan kamu…”. Salah seorang temannya berkelakar dan ditertawakan oleh yang lain. “Bukan Muhrim tau!”

PERTOLONGAN. Terlihat Aisyah berjalan ceria dengan senyum di bibirnya. Lesung pipinya tak kan bisa dilupakan oleh Nadia sejak pertamakalinya mereka bertemu. Kini Aisyah dan Nadia masih ditakdirkan menjadi teman satu kelas.
“Assalamu’alaikum,” Aisyah menyapa Nadia yang berdiri terpaku di depan Tono. Ia pun sedikit kaget dengan penampilan Nadia yang baru.
“Wa’alaikumussalam,” Nadia menjawab dengan senyum yang tak kalah manis. Ia pun kemudian menggandeng tangan Aisyah. Sangat akrab. “Ton, aku jalan barena Aisyah aja”.
Wajah Tono memerah karena kecewa. Ia berbalik ke arah motornya, kemudian melampiaskan kekecewaannya dengan meninjukan tangannya ke tangki motor.
“Aduh!” Tono merintih kesakitan. Kini tangannya yang menjadi merah.
*
Nadia dan Aisyah berjalan beriringan. Dari belakang mereka terlihat seperti saudara kembar. Tinggi badan mereka tidak tidak jauh berbeda. Seragam yang di pakainya sama, jilbabnya juga sama-sama putih. Barangkali hanya warna tas mereka yang berbeda. Nadia membewa tas berwarna biru sementara Aisyah memakai tas berwarna hitam.
Entah apa yang dibicarakan oleh mereka berdua. Yang jelas, Langkah mereka semakin cepat ketika bel berbunyi. Setelah itu, terdengar peringatan seorang guru dari ujung pengeras suara agar seluruh siswa segera berkumpul di lapangan untuk upacara bendera.
Tanpa banyak diatur, para siswa segera keluar dari kelasnya kemudian menempatkan diri di bagian lapangan yang telah di tentukan. Cepat sekali. Para siswa baru yang masih berseragam SMP juga bisa langsung menyesuaikan diri. Wacana kedisiplinan memang telah menghegemoni pikiran siswa semenjak mereka mendengar nama SMA Negeri 7.
Pembina OSIS memiliki peranan yang sangat besar dalam mewujudkan dan kerapian di sekolah ini. Pada waktu pertama kali masuk, pengukuran tinggi badan diberlakukan bagi seluruh siswa tanpa terkecuali. Dari data tinggi badan inilah kemudian pada suatu kelas dibuat susunan barisan yang teratur. Siswa yang paling tinggi berdiri dibaris paling depan sebelah kanan. Sedangkan siswa yang paling rendah berdiri di barisan paling belakang sebelah kiri. Barisan ini diberlakakukan terus menerus ketika upacara bendera. Oleh karena itu siswa sudah hafal benar siapa yang harus berada di samping, depan atau belakangnya. Apabila ada siswa yang berhalangan mengikuti upacara, maka barisan digeser sesai urutan tinggi badannya. Dengan demikian apabila ada siswa yang tidak mengikuti upacara, maka hal ini langsung bisa diketahui karena barisan berubah.
Hari ini ada beberapa anak yang tidak terlihat di barisan. Sepertinya ini bukan hal biasa di hari pertama masuk sekolah.
***
Aisyah tidak henti-hentinya melafazdkan tasbih dan istighfar. Ia tidak pernah menyangka kalau Nadia akan memakai jilbab. Selama ini bahkan Nadia tidak pernah tersentuh oleh Rohis. Apalagi sejak kedekatannya dengan Lucas Hartono, yang kemudian menjadi pacarnya itu.
Semua siswa tahu kalau Tono itu satu-satunya non muslim pada waktu masih di kelas satu. Dilihat dari nama depannya yang menggunakan nama baptis, jelas bahwa dia beragama katholik. Sayangnya Nadia belum paham benar tentang Islam. Itulah kenapa akhirnya Nadia mau berhubungan dekat dengan Tono.
Nadia memang tinggal di salah satu Kecamatan di Purworejo yang terkenal dengan serambimekah-nya Purworejo. Begitu pula dia hidup bersebelahan dengan keluarga Pak De-nya yang memiliki pemahaman keislaman yang bagus. Tapi pengaruh lingkungan masyarakat di masa kecilnya ditambah pengaruh lingkungan sekolahnya di waktu SMP sepertinya lebih lebih kuat dalam mempengaruhi dirinya.
Beberapa tahun setelah Sang ibu meninggal, Nadia kecil hidup bersama sang ayah yang ditugaskan di Kalimantan. Ia dirawat oleh seorang pembantu yang merupakan penduduk asli daerah itu. Setelah beberapa tahun, Nadia dan Ayahnya kembali ke kampung. Sejak saat itulah Nadia memulai kehidupan barunya di Jawa. Sang ayah pun sudah ditempatkan di tempat kerja barunya, yang relatif tidak terlalu jauh dari rumah mereka.
Nadia haus akan kasih sayang. Kasih sayang dari seorang Ibu tidak pernah didapatkannya selama ini. Hal itulah yang mungkin membuatnya luluh ketika Tono mengungkapkan perasaan cinta kepadanya. Tapi itu dulu. Sekarang Nadia sudah berubah. Ia sudah melupakan masa lalunya dengan Tono. Tapi siapakah yang telah berhasil merubah jalan hidup Nadia? Inilah yang masih menjadi pertanyaan di benak Aisyah.
“Aisyah, Kok melamun?” Tangan Nadia menyentuh bahu Aisyah dengan lembut. Yang ditanya agak terkejut.
Sekarang adalah waktu istirahat. Seluruh siswa masih berada di ruang kelas. Setelah melaksanakan sholat Dhuha, Aisyah langsung masuk ke kelas. Ia menjumpai ruangan kelasnya masih kosong. Nadia adalah orang pertama yang memasuki ruangan setelah Aisyah.
“Enggak melamun kok. Cuma memikirkan sesuatu. Dari mana Nad?” Aisyah mengulurkan tangannya memegangi tangan Nadia. Kemudian kemudian dia mengayun-ayunkan tangan Nadia seperti anak kecil.
“Dari Kantin.”
“Lho, kok sudah balik ke kelas? Biasanya kalau sudah ada di kantin kamu betah banget, bahkan sampai telat masuk”
“Iya sih, soalnya barusan ketemu sama Tono. Sebel banget” Raut muka Nadia berubah. Ia pun segera menceritakan pertemuannya tadi dengan Tono
“Tadi waktu ke kantin, tau-tau Tono duduk di samping Nadia. Ia meminta Nadia untuk kembali kepadanya. Tentu saja Nadia menolak.” Nadia duduk di samping Aisyah. “Tapi Tono terus mendesak dan malah mau memegang tangan Nadia. Ketika berontak, Nadia nggak sengaja menumpahkan seporsi soto miliknya. Bajunya terkena tumpahan soto itu.”
Aisyah dan Nadia tertawa.
“Kamu menyesal?”
“Nggak! Cuma kasihan saja. Seharusnya soto Tono tidak perlu tumpah. Tapi hentakan Nadia tadi terlalu keras” Gadis itu tertawa kecil. “Lha Aisyah dari mana?”
“Emm, dari Masjid.” Aisyah membetulkan posisi kerudungnya.
“O, sholat Dhuha ya? Besok Nadia diajak dong!”
“OK!” Aisyah tersenyum. Sesaat mereka terdiam. Beberapa siswa yang lain sudah mulai masuk ke dalam kelas.
“Eh, kalau besok Nadia duduk satu meja dengan Aisyah boleh tidak?”
“Boleh banget! Tapi Nadia berangkatnya yang lebih pagi ya, biar kita bisa pilih bangku yang strategis.”
“Iya deh, Insya Allah. Posisi kan menentukan prestasi?” Nadia tertawa geli. Kata-kata itu biasanya terucap saat menghadapi ulangan harian.
Bel berbunyi. Anak-anak masuk ke kelasnya dengan tertib. Tono yang kini berbeda kelas dengan Nadia masuk ke kelas dengan bekas kuah di bajunya. Teman-teman yang melihatnya pun segera mengomentarinya.
“Ton, kalau di kantin nggak ada kain lap, mbersihin meja jangan pakek baju kamu sendiri dong. Pakai tisue atau apalah…” Kata teman sebangkunya.
“Eh Tono, masak baju sekolah pake diwenter segala sih? Warnanya norak lagi!” Kali ini teman yang lain memberi komentar juga. Seisi kelas menjadi ramai.
Dengan gayanya yang cool abis, Tono duduk di tempatnya. Noda di pakaiannya pun tidak terlalu kelihatan lagi.