Minggu, 09 September 2007

KKN-PPL (Bagian 15)

Purworejo, Juni 2006

Aku sedang melaksanakan tugas KKN-PPL di Purworejo. Bagi mahasiswa UNY—khususnya yang jurusan kependidikan—kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pelaksanaannya digabungkan dengan kegiatan Praktik Pengenalan Lapangan atau lebih dikenal dengan PPL. Biasanya kegiatan itu dilaksanakan di sekolah-sekolah atau kantor-kantor secara serentak.
Kebanyakan mahasiswa KKN-PPL ditempatkan di daerah asal masing-masing. Namun kebijakan ini hanya berlaku untuk orang yang berasal dari Jogja, Klaten, dan Purworejo. Hal ini karena penempatan KKN-PPL hanya meliputi tiga wilayah itu.
Aku ditempatkan di salah satu SMA Negeri di Purworejo yang jaraknya sekitar 24 Kilometer dari rumahku. Jauh memang. Tapi hikmahnya, kini aku sudah dipercaya membawa motor sendiri. Setiap hari aku harus mengendarai sepeda motor sejauh itu pada waktu pagi dan sore hari. Pada waktu malam hari, aku lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah untuk istirahat. Tidak ada lagi cerita tentang nasyid, tidak ada lagi kenangan kampus.
***
Deg. Detak jantung Nadia terasa semakin cepat. Berkali-kali ia menatap pergelangan tangannya menatap jam tangan cantik itu.

“Wah, Cantik sekali jam tangannya. Persis kaya’ yang punya”. Suatu ketika Tono memberi komentar beberapa saat setelah Nadia memakai jamnya untuk pertama kali. Nadia mendapatkan jam itu dari ayahnya karena berhasil memperoleh peringkat 3 di kelasnya.

“Kalau Nadia bisa rangking satu, Ayah akan ngasih hadiah yang lebih heboh lagi”. Nadia masih mengingat pesan Ayahnya pada waktu memberikan jam tangan itu. Ia menjadi termotivasi manakala mengingat pesan itu.

Jam yang melingkar di pergelangan tangan Nadia tidak begitu istimewa. Sama seperti jam tangan yang lain: Ada tiga jarum dengan kecepatan berbeda. Masing-masing menunjukkan detik, menit, dan jam. Di sekeliling jarum jam tersebut juga ada angka satu sampai dua belas yang masing-masing berjarak tigapuluh derajad. Barangkali Casing berwarna pink yang membuat sang pemilik tampak lebih anggun.
Nadia kembali menyibak lengan baju yang menutupi jam tangannya. Jarum panjangnya sudah menunjuk ke angka lima. 06.25. Keringat dingin dirasa meresap ke pori-pori bajunya. Nadia menoleh ke arah teman sebayanya yang sama-sama sedang menunggu angkutan. Tidak ada kekhawatiran yang nampak pada teman-teman di sekitarnya itu. Hanya Nadia yang terlihat sangat gelisah.
Kegelisahan Nadia memang sangat beralasan. Selain jarak dari rumah ke sekolah yang 12 kilometer, kebijakan sekolah dalam masalah kedisiplinan membuatnya harus lebih tertib. Hari ini ia tidak ingin terlambat, yang dengan keterlambatan itu angka ‘Indeks Pelanggarannya’ jadi bertambah.
Sekolah tempat Nadia menuntut ilmu itu terkenal dengan kesiplinan civitasnya. Tidak sebatas pada siswa dan guru saja, bahkan tukang kebun pun ‘tunduk’ pada aturan sekolah. Indeks Pelanggaran akan diberikan kepada setiap siswa yang melakukan pelanggaran dalam bentuk angka. Besar kecilnya angka pelanggaran didasarkan atas berat ringannya pelanggaran. Semua jenis pelanggaran serta angka pelanggaran tersebut sudah dipublikasikan sejak masa awal siswa masuk ke sekolah itu. Adapun pengontrolannya dilakukan sepenuhnya oleh guru BK.
Untuk mengingatkan agar siswa tidak melakukan pelanggaran, jenis-jenis pelanggaran serta skornya ditempel di lokasi-lokasi strategis. Para siswa pun menjadi hafal betul setiap skor yang akan didapat jika melakukan pelanggaran.
Tidak memakai perlengkapan yang sesuai 5
Terlambat 5
Tidak mengikuti upacara bendera 10
Bolos sekolah 10
Berkelahi 30
……..
Hamil / menghamili 100
Kumpulan skor yang diperoleh siswa yang melanggar peraturan itulah yang disebut Indeks Pelanggaran. Bisa dibayangkan apabila seorang siswa terlambat masuk kelas dua kali dalam seminggu, maka dalam waktu kurang dari tiga bulan, Indeks Pelanggaran yang didapatkan sudah 100. Itu belum ditambah pelanggaran-pelanggaran lain yang sewaktu-waktu bisa dilakukan. Padahal salah satu kebijakan dari sekolah adalah apabila siswa mendapatkan IP lebih dari 100, maka ia harus dikeluarkan dari sekolah.
Selama siswa tidak keterlaluan, pelanggaran ringan biasanya tidak menyebabkan mereka dikeluarkan dari sekolah. Hal ini karena kerja keras BK dalam memonitoring perilaku siswa. Setiap jumlah IP tertentu, pihak BK akan menghubungi siswa yang bersangkutan kemudian memberikan peringatan. Peringatan yang diberikan biasanya bertahap mulai dari peringatan lisan, tertulis, sampai pemanggilan orang tua. Biasanya setelah siswa berurusan dengan BK, ia akan memperbaiki dirinya. Oleh karena itu, hanya siswa yang benar-benar nakal yang mendapatkan sanksi berat.
Siswa terlambat biasanya langsung diberikan sanksi untuk mengabsen beberapa ruang kelas. Setiap sebulan sekali, guru BK akan masuk ke dalam kelas dan memanggil satu-persatu siswa yang mempunyai IP pada bulan itu. Kemudian siswa tersebut diberikan sanksi berdasarkan tingginya IP. Ada yang membersihkan WC, mencabuti rumput, dan masih banyak alternatif lain. Nah, semakin banyak siswa melakukan pelanggaran, maka pekerjaan Pak Bon akan semakin ringan. Wajar kalau akhirnya tukang kebun itu akhirnya juga ikut berdisiplin.
Jam 06.40. Nadia hanya bisa mendesah saat teman-temannya masuk ke angkutan KOPADA. Sebagian besar teman sebaya di kampungnya bersekolah di SMK atau SMA yang lokasinya dilewati jalur KOPADA itu. Sebenarnya bisa saja Nadia naik KOPADA dan turun di suatu tempat, kemudian disambung dengan KOPADA yang melewati depan sekolahnya. Namun itu pemborosan, baik waktu maupun biaya.
Alhamdulillah. Nadia merasa lega ketika melihat bus ‘tiga perempat’ jurusan Magelang Purworejo. Bus itulah yang nantinya akan melewati depan sekolah Nadia : SMU Negeri 7 Purworejo.
Bus itu mengurangi kecepatan ketika Nadia melambaikan tangannya. Tak lama kemudian berhenti tepat di depan Nadia berdiri. Gadis itu menghela nafas panjang setelah melihat ke dalam bus. Sudah penuh, tidak ada lagi kursi yang nganggur. Dengan sangat terpaksa, Nadia berdiri di bagian belakang bis yang sesak itu. Roda pun berputar dan bergerak menelusuri jalan yang berliku.
***
“Empat dua belas, Empat dua belas!” sang kernet berteriak lantang memberikan kode kepada penumpang yang hendak turun di pertigaan Yonif 412. Jarak antara pertigaan itu dengan zebracross yang mengarah ke sekolah Nadia hanya sekitar 20 meter. Sementara itu, di dalam bis ada siswa SMK PN yang turut menumpang. SMK PN terletak tidak jauh dari pertigaan itu. Oleh karenanya, sopir bis lebih memilih menghentikan kendaraannya di depan pertigaan 412. Tentu saja Nadia harus berjalan beberpa menit lebih lama untuk bisa sampai ke sekolahnya.
Setelah menyebrang melewati zebracross, sampailah Nadia di Jalan Ki Mangun Sarkoro. Di jalan itu, dari ujung timur ke ujung barat disejukkan oleh rindangnya pohon ketepeng. Siapapun yang berdiri di sepanjang jalan tersebut tidak akan merasakan teriknya sinar matahari. Bangunan-bangunan kuno yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda berdiri kokoh di sebelah Utaranya. Saat ini, bangunan-bangunan itu menjadi rumah dinas untuk para guru dan tenaga kependidikan.
Di sebelah selatan jalan, sebuah komplek sekolah dibatasi oleh pagar besi yang mengelilingi seluruh penjuru. Tidak berbeda dengan gedung di seberang jalan, gedung sekolah ini juga memperlihatkan gaya arsitektur masa lalu. Bangunan sekolah itu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bangunan-bangunan model sekarang. Dinding-dindingnya tebal dengan pintu dan jendela yang berukuran super besar terbuat dari pohon jati. Engsel maupun pengunci pintu dan jendela terlihat sangat unik. Barangkali sudah tidak dijumpai lagi toko bangunan yang menyediakan perlengkapan tersebut dengan merek yang sama. Maklum, Belanda membangun gedung itu sekitar tahun 1915. diperkirakan gedung tersebut masih mampu berdiri kokoh sampai kurun waktu 150 tahun lagi.
SMA Negeri 7 Purworejo. Nadia menatap tulisan yang bertengger di atas gerbang sekolah itu hampir setiap hendak melewatinya. Ia sangat bangga masuk ke sekolah yang tergolong favorit itu. Di akui, ia sempat kecewa ketika dahulu tidak diterima masuk SMA N 1, SMA paling favorit di kotanya. Namun kekecewaan itu berangsur-angsur berubah menjadi kebanggaan tersendiri setelah ia merasakan aktivitas belajar di sana.
SMUNVEN. Begitulah siswa-siswa menyebut sekolahnya dengan istilah gaul. Pada awalnya sekolah itu bernama SMU 2 Purworejo. Kemudian atas kebijakan Bupati, namanya dirubah sesuai dengan urutan waktu berdirinya. Dibandingkan dengan sekolah-sekolah menengah lain di Kabupaten Purworejo, sekolah tersebut masih berusia relatif muda. Belum genap 15 tahun. Sebelumnya, gedung sekolah itu digunakan untuk kegiatan belajar mengajar Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
Walau berusia jauh lebih muda dibanding SMU 1, prestasi smunven tidak terpaut terlalu jauh terpaut terlalu jauh. Jika kita melihat hasil belajar pada sekolah-sekolah di kabupaten itu, SMU 1 memang lebih baik dari pada Smunven. Namun kalau kita membandingkannya dengan input NEM siswa yang masuk ke sekolah itu, maka proses pembelajaran di SMU 7 bisa dikatakan lebih berhasil.
“Minggir-Minggir!”
Nadia kaget mendengar suara liar itu. Seorang siswa dengan sepeda motor berkecepatan tinggi hampr saja menerjang. Ia pun segera melompat ke tepi jalan.
Pintu gerbang di mana Nadia mulai memasuki komplek sekolah ini adalah satu-satunya pintu yang digunakan oleh penghuni sekolah untuk keluar masuk. Beberapa langkah setelah melewati pintu gerbang, di sebelah kirinya terdapat pos satpam. Dengan hanya satu pintu gerbang yang melewati pos satpam itulah maka keamanan sekolah bisa dikendalikan. Namun dengan hanya satu gerbang itu, maka jalan masuk menjadi terasa sempit. Apalagi pada saat sebelum masuk atau setelah bel pulang berbunyi. Maklum, ratusan siswa harus berjubel pada pintu itu untuk di saat yang hampir bersamaan. Jika tidak hati-hati, maka pengendara sepeda motor bisa menabrak siswa yang berjalan kaki.
“Hati-hati dong kalau jalan!” Siswa yang mengendarai motor itu kembali berteriak. Teriakannya bahkan lebih jelek dari suara kenalpot motornya yang sudah dibobol itu. Sebenarnya Nadia bisa saja membalas dengan kalimat “Yang harus hati-hati itu kamu”, tapi kalimat itu hanya dipendamnya di dalam hati.
Nadia masih melangkahkan kakinya. Sementara itu, sang pengendara motor malah menghentikan motornya persis di depan Nadia.
Terdengar gerutuan dari siswa-siswa yang berjalan kaki. Rupanya mereka terganggu dengan adanya sepeda motor yang berhenti di jalan. Yang empunya motor turun dari kendaraan, kemudian berbalik ke arah Nadia. Ia membuka helmnya. Dari gayanya yang premanis, sepertinya anak itu hendak memaki-maki Nadia.
Kini tampak dengan jelas di depan Nadia cowok yang sudah lama dikenalnya. Tono, teman ‘istimewa’ pada waktu kelas dan kelas dua. Tono sebenarnya memang hendak meluapkan emosi pada gadis yang hampir saja dicelakainya itu. Namun luapan emosinya segera menguap ketika ia mengetahui siapa yang ada di hadapannya itu.
Sebaliknya, kini Nadia jadi tahu sifat asli Tono yang selama ini tersembunyi di balik ‘helm’ itu. Di mata Nadia, dahulu Tono adalah pribadi yang romantis, baik hati, peduli, dan mencurahkan kasih sayang yang sangat besar padanya. Ternyata semua itu hanyalah topeng belaka.
(Kalau dibuat drama televisi, musik latarnya lebih cocok dengan ‘nasyid’-nya Paterpan : Buka dulu topengmu.. buka dulu topengmu…” J )

“Nadia?” tono terheran-heran melihat cewek berjilbab di depannya. Ia tidak mengira bahwa siswa di balik kerudung yang dibentaknya itu adalah Nadia. Seingat Tono, ia terakhir bertemu dengan Nadia pada waktu Class Meeting menghadapi kenaikan kelas. Pada waktu itu Nadia belum memakai Jilbab. Kini, tahun ajaran baru telah dimulai. Entah mimpi apa yang membuat Nadia seperti itu.
Kini giliran Nadia yang menghentikan langkahnya. Ia tersenyum manis, lalu bermaksud melanjutkan langkah kakinya.
“Nadia…”. Suara Tono agak memelas. Sangat berbeda dengan teriakannya tadi. Nadia pun tidak jadi melangkahkan kakinya. “Sorry Nad, aku yang salah…”
Nadia berhenti sejenak, lalu mengangkat bahunya. “Sebelum Kamu meminta maaf pun aku sudah memaafkanmu…”
“Yes…”, Tono mengepalkan tangan seperti gaya seorang straiker sepak bola yang telah membobol gawang lawannya. “Eh, Nadia. Kelas kamu ada di dekat tempat parkir. Sekalian bareng aku ya?”
Deg. Jantung Nadia bertetak kuat. Hatinya bergejolak hebat. Ia teringat masa lalunya. Nadia adalah dua diantara sekian siswa-siswi Smunven yang terlibat dalam ‘nyanyian merah jambu’. Tidak ada yang tahu bagaimana mulanya virus merah jambu tersebut menyebar, namun tiba-tiba saja mereka sering kelihatan berdua di suatu tempat, jalan bareng, atau sekedar makan bareng di kantin.

“Masih kelas satu es-em-a aja udah pacaran, kalau udah gede mau jadi apa?” suatu ketika Pak Subagyono, guru Fisika kelas dua menegur ketika Tono hendak mengantarkan Nadia pulang. Waktu itu mereka memang sempat menjadi bahan pembicaraan para guru.
“Jadi pengantin Pak,” Tono menjawab dengan enteng sambil memberikan helmnya ke Nadia, kemudian segera tancap gas. Dibelakangnya, Nadia tersenyum dan menganggukkan kepala kea rah Pak Subagyono yang mulutnya terlihat membentuk huruf ‘o’.

Smunven adalah kampus paling luas di Purworejo. Di tambah dengan perumahan guru, maka luas keseluruhannya mencapai 6,4 hektar. Pada waktu masih Kelas XI, ruang kelas Nadia terletak di gedung paling barat di sekolah itu. Untuk mencapainya, Nadia harus berjalan melewati tepian lapangan sepak bola, kemudian melewati jalan diantara lapangan voli dan lapangan basket, barulah sampai di taman depan kelas. Kurang lebih dibutuhkan waktu lima menit untuk berjalan dari pintu gerbang ke ruang kelasnya. Tapi Nadia hampir tidak pernah melakukannya karena Tono selalu setia untuk mengantarnya. Tidak ada yang tahu dengan pasti kenapa sikap Nadia tiba-tiba berubah pagi ini.
“Ayo!” Tono kembali menawarkan ‘jasa’-nya.
Nadia bingung harus mengatakan apa pada Tono. Rupanya Tono masih menganggap Nadia sebagai kekasihnya. Nadia memang belum pernah mengatakan putus hubungan dengan Tono. Namun perubahan pada diri Nadia sebenarnya sudah bisa dibaca oleh Tono bahwa Nadia sekarang sudah insyaf. Karena Nadia sudah menutup auratnya, berarti Nadia harus menjaga hubungannya dengan lawan jenis. Tentu saja anak itu seharusnya sudah tidak berpacaran atau berboncengan lagi dengan Tono.
Bukan berarti Tono tidak peka dengan penampilan Nadia yang baru. Ia paham benar bahwa cewek berjilbab tidak akan mau berboncengan dengan yang non muhrim. Bahkan bersentuhan pun tidak mau.

Tono masih ingat ketika seluruh siswa di kelasnya bersalaman beberapa saat setelah lebaran. Aisyah, salah satu cewek berjilbab di kelasnya menolak untuk salaman dengan siswa cowok termasuk dengannnya. “Gimana sih Aisy, kok nggak mau salaman denganku. Tanganku halus lho”
“Bukan halus atau tidaknya Ton! Aisy tuh bakal alergi kalau nyentuh tangan kamu…”. Salah seorang temannya berkelakar dan ditertawakan oleh yang lain. “Bukan Muhrim tau!”

PERTOLONGAN. Terlihat Aisyah berjalan ceria dengan senyum di bibirnya. Lesung pipinya tak kan bisa dilupakan oleh Nadia sejak pertamakalinya mereka bertemu. Kini Aisyah dan Nadia masih ditakdirkan menjadi teman satu kelas.
“Assalamu’alaikum,” Aisyah menyapa Nadia yang berdiri terpaku di depan Tono. Ia pun sedikit kaget dengan penampilan Nadia yang baru.
“Wa’alaikumussalam,” Nadia menjawab dengan senyum yang tak kalah manis. Ia pun kemudian menggandeng tangan Aisyah. Sangat akrab. “Ton, aku jalan barena Aisyah aja”.
Wajah Tono memerah karena kecewa. Ia berbalik ke arah motornya, kemudian melampiaskan kekecewaannya dengan meninjukan tangannya ke tangki motor.
“Aduh!” Tono merintih kesakitan. Kini tangannya yang menjadi merah.
*
Nadia dan Aisyah berjalan beriringan. Dari belakang mereka terlihat seperti saudara kembar. Tinggi badan mereka tidak tidak jauh berbeda. Seragam yang di pakainya sama, jilbabnya juga sama-sama putih. Barangkali hanya warna tas mereka yang berbeda. Nadia membewa tas berwarna biru sementara Aisyah memakai tas berwarna hitam.
Entah apa yang dibicarakan oleh mereka berdua. Yang jelas, Langkah mereka semakin cepat ketika bel berbunyi. Setelah itu, terdengar peringatan seorang guru dari ujung pengeras suara agar seluruh siswa segera berkumpul di lapangan untuk upacara bendera.
Tanpa banyak diatur, para siswa segera keluar dari kelasnya kemudian menempatkan diri di bagian lapangan yang telah di tentukan. Cepat sekali. Para siswa baru yang masih berseragam SMP juga bisa langsung menyesuaikan diri. Wacana kedisiplinan memang telah menghegemoni pikiran siswa semenjak mereka mendengar nama SMA Negeri 7.
Pembina OSIS memiliki peranan yang sangat besar dalam mewujudkan dan kerapian di sekolah ini. Pada waktu pertama kali masuk, pengukuran tinggi badan diberlakukan bagi seluruh siswa tanpa terkecuali. Dari data tinggi badan inilah kemudian pada suatu kelas dibuat susunan barisan yang teratur. Siswa yang paling tinggi berdiri dibaris paling depan sebelah kanan. Sedangkan siswa yang paling rendah berdiri di barisan paling belakang sebelah kiri. Barisan ini diberlakakukan terus menerus ketika upacara bendera. Oleh karena itu siswa sudah hafal benar siapa yang harus berada di samping, depan atau belakangnya. Apabila ada siswa yang berhalangan mengikuti upacara, maka barisan digeser sesai urutan tinggi badannya. Dengan demikian apabila ada siswa yang tidak mengikuti upacara, maka hal ini langsung bisa diketahui karena barisan berubah.
Hari ini ada beberapa anak yang tidak terlihat di barisan. Sepertinya ini bukan hal biasa di hari pertama masuk sekolah.
***
Aisyah tidak henti-hentinya melafazdkan tasbih dan istighfar. Ia tidak pernah menyangka kalau Nadia akan memakai jilbab. Selama ini bahkan Nadia tidak pernah tersentuh oleh Rohis. Apalagi sejak kedekatannya dengan Lucas Hartono, yang kemudian menjadi pacarnya itu.
Semua siswa tahu kalau Tono itu satu-satunya non muslim pada waktu masih di kelas satu. Dilihat dari nama depannya yang menggunakan nama baptis, jelas bahwa dia beragama katholik. Sayangnya Nadia belum paham benar tentang Islam. Itulah kenapa akhirnya Nadia mau berhubungan dekat dengan Tono.
Nadia memang tinggal di salah satu Kecamatan di Purworejo yang terkenal dengan serambimekah-nya Purworejo. Begitu pula dia hidup bersebelahan dengan keluarga Pak De-nya yang memiliki pemahaman keislaman yang bagus. Tapi pengaruh lingkungan masyarakat di masa kecilnya ditambah pengaruh lingkungan sekolahnya di waktu SMP sepertinya lebih lebih kuat dalam mempengaruhi dirinya.
Beberapa tahun setelah Sang ibu meninggal, Nadia kecil hidup bersama sang ayah yang ditugaskan di Kalimantan. Ia dirawat oleh seorang pembantu yang merupakan penduduk asli daerah itu. Setelah beberapa tahun, Nadia dan Ayahnya kembali ke kampung. Sejak saat itulah Nadia memulai kehidupan barunya di Jawa. Sang ayah pun sudah ditempatkan di tempat kerja barunya, yang relatif tidak terlalu jauh dari rumah mereka.
Nadia haus akan kasih sayang. Kasih sayang dari seorang Ibu tidak pernah didapatkannya selama ini. Hal itulah yang mungkin membuatnya luluh ketika Tono mengungkapkan perasaan cinta kepadanya. Tapi itu dulu. Sekarang Nadia sudah berubah. Ia sudah melupakan masa lalunya dengan Tono. Tapi siapakah yang telah berhasil merubah jalan hidup Nadia? Inilah yang masih menjadi pertanyaan di benak Aisyah.
“Aisyah, Kok melamun?” Tangan Nadia menyentuh bahu Aisyah dengan lembut. Yang ditanya agak terkejut.
Sekarang adalah waktu istirahat. Seluruh siswa masih berada di ruang kelas. Setelah melaksanakan sholat Dhuha, Aisyah langsung masuk ke kelas. Ia menjumpai ruangan kelasnya masih kosong. Nadia adalah orang pertama yang memasuki ruangan setelah Aisyah.
“Enggak melamun kok. Cuma memikirkan sesuatu. Dari mana Nad?” Aisyah mengulurkan tangannya memegangi tangan Nadia. Kemudian kemudian dia mengayun-ayunkan tangan Nadia seperti anak kecil.
“Dari Kantin.”
“Lho, kok sudah balik ke kelas? Biasanya kalau sudah ada di kantin kamu betah banget, bahkan sampai telat masuk”
“Iya sih, soalnya barusan ketemu sama Tono. Sebel banget” Raut muka Nadia berubah. Ia pun segera menceritakan pertemuannya tadi dengan Tono
“Tadi waktu ke kantin, tau-tau Tono duduk di samping Nadia. Ia meminta Nadia untuk kembali kepadanya. Tentu saja Nadia menolak.” Nadia duduk di samping Aisyah. “Tapi Tono terus mendesak dan malah mau memegang tangan Nadia. Ketika berontak, Nadia nggak sengaja menumpahkan seporsi soto miliknya. Bajunya terkena tumpahan soto itu.”
Aisyah dan Nadia tertawa.
“Kamu menyesal?”
“Nggak! Cuma kasihan saja. Seharusnya soto Tono tidak perlu tumpah. Tapi hentakan Nadia tadi terlalu keras” Gadis itu tertawa kecil. “Lha Aisyah dari mana?”
“Emm, dari Masjid.” Aisyah membetulkan posisi kerudungnya.
“O, sholat Dhuha ya? Besok Nadia diajak dong!”
“OK!” Aisyah tersenyum. Sesaat mereka terdiam. Beberapa siswa yang lain sudah mulai masuk ke dalam kelas.
“Eh, kalau besok Nadia duduk satu meja dengan Aisyah boleh tidak?”
“Boleh banget! Tapi Nadia berangkatnya yang lebih pagi ya, biar kita bisa pilih bangku yang strategis.”
“Iya deh, Insya Allah. Posisi kan menentukan prestasi?” Nadia tertawa geli. Kata-kata itu biasanya terucap saat menghadapi ulangan harian.
Bel berbunyi. Anak-anak masuk ke kelasnya dengan tertib. Tono yang kini berbeda kelas dengan Nadia masuk ke kelas dengan bekas kuah di bajunya. Teman-teman yang melihatnya pun segera mengomentarinya.
“Ton, kalau di kantin nggak ada kain lap, mbersihin meja jangan pakek baju kamu sendiri dong. Pakai tisue atau apalah…” Kata teman sebangkunya.
“Eh Tono, masak baju sekolah pake diwenter segala sih? Warnanya norak lagi!” Kali ini teman yang lain memberi komentar juga. Seisi kelas menjadi ramai.
Dengan gayanya yang cool abis, Tono duduk di tempatnya. Noda di pakaiannya pun tidak terlalu kelihatan lagi.

Tidak ada komentar: