Minggu, 09 September 2007

Nyantri (Bagian 13)

Beberapa waktu yang lalu aku dan Arif sempat mengikuti dauroh penerimaan santri baru Pondok Pesantren Takwinul Muballighin (PPTM). Kebetulan masa mondok Arif di pesantrennya yang lama sudah habis. Ia pun mengajakku untuk ikut serta belajar di PPTM.
Di akhir acara dauroh diadakan seleksi bagi para calon santri, meliputi tes tertulis, baca Al Quran, hafalan Al Quran, kultum, dan tes wawancara. Hasilnya, aku diterima menjadi santri di Pondok Pesantren itu. Aku bersyukur, walaupun pemahaman keislamanku masih kurang, aku masih bisa di terima di Pesantren ini.
Ada beberapa alasan bagiku sehingga akhirnya memutuskan untuk nyantri. Pertama, mempelajari ilmu agama adalah wajib hukumnya. Sementara aktivitasku di Kampus sebagian besar adalah memperdalam ilmu duniawi. Aktivitasku di UKKI kurasa belum cukup memberikan bekal ilmu agama kepadaku.
Kedua, sebagai pengurus UKKI, seharusnya aku memahami banyak tentang Islam. Namun aku merasa masih kurang dalam hal itu. Sedangkan di PPTM, berbagai mata kuliah keislaman yang belum pernah kudapat sebelumnya akan diberikan. Mata kuliah tersebut antara lain Bahasa Arab, Fiqih, Aqidah, Sosiologi dakwah, Kristologi, dan masih banyak lagi.
Ketiga, pribadi yang soleh biasanya dipengaruhi oleh lingkungannya. Bila aku masih bertahan di kost, maka aku akan bergaul seperti teman-teman kostku mengingat sebagian besar waktuku ada di sana. Sementara aku melihat banyak hal buruk yang masih ada di sana. Dengan tinggal di lingkungan santri, aku yakin diri ini bisa memiliki akhlak seperti mereka. Sama seperti penjual parfum yang menjadi beraroma wangi karena berada di sekeliling minyak wangi.
Keempat, karena tinggal di PPTM tidak dIgunut biaya alias gratis. Alasan inilah yang umumnya disembunyikan dalam-dalam oleh para calon santri ketika ujian wawancara. Gengsi. Padahal alasan inilah sebenarnya yang banyak menjadi motivasi utama untuk masuk ke PPTM. Siapa yang tidak mau kost gratis selama 1,5 tahun? Sudah begitu, ilmu kita dijamin bertambah.
Kenyataannya memang tidak semua mahasiswa muslim mau tinggal di Pondok Pesantren. Walau dibayar sekalipun. Aku juga tidak paham mengenai hal ini. Begitu pula, orang akan berfikir 2 kali ketika hendak masuk ke PPTM. Selain karena harus lolos seleksi, banyak syarat dan peraturan yang harus di patuhi di pesantren ini. Tidak boleh merokok, tidak boleh pacaran, tidak boleh ini dan itu, tapi yang paling diingat oleh teman-temanku adalah…. Tidak boleh menikah selama mengikuti pendidikan di PPTM. Hmm…
*
Peraturan di pondok sangat ketat. Pengurus pondok menginginkan agar seluruh santrinya membiasakan hidup disiplin. Sebenarnya aku sudah dilatih untuk hidup disiplin pada waktu sekolah di SMA. Tetapi kesibukanku di Kampus membuatku terkadang harus banyak melanggar peraturan pondok.
Santri diharuskan sudah berada di pondok sejak jam 18.00, dan baru boleh meninggalkan pondok pada pukul 07.00. Jika ada keperluan, santri boleh keluar malam pada pukul 21.00 atau setelah kajian usai. Tidak jarang aku, Arif, serta santri-santri lain memperoleh sanksi karena sering melanggar aturan pondok. Memang, semuanya butuh proses. Begitu pula untuk menegakkan kedisiplinan di pesantren mahasiswa.
Meskipun aku dan Arif tinggal di PPTM, ‘air’ masih menyempatkan diri untuk latihan. Sebelumnya, kami biasa latihan beberapa saat setelah shalat isya’. Namun karena aku dan Arif harus mengikuti kajian dulu, maka latihan dimulai setelah jam 21.00.
Tidak jarang kami menolak permintaan untuk pentas bila waktu pementasan berbenturan dengan jadwal kajian di pondok. Pada mulanya teman-teman ‘air’ agak kecewa dengan hal ini. Mereka menganggap tidak ada gunanya latihan apabila tidak dipentaskan. Namun akhirnya mereka bisa maklum dengan kondisi diriku dan Arif. Kami pun tetap konsisten dengan latihan meski tidak menghadapi pementasan. Kami yakin, beberapa waktu yang akan datang, setelah Aku dan Arif keluar dari pondok, ‘air’ bisa kembali bangkit. Kami Optimis, Kelak Jogja akan berguncang dengan beriaknya ‘air’ kembali.
*
Di Pondok, ada salah seorang santri yang kebetulan pernah bergabung dengan gerakan ‘en-sebelas’. Dia menyadari kesesatan gerakan tersebut setelah harta bendanya ludes terjual. Disamping itu, dia disadarkan oleh seorang mahasiswa asal Sunda yang mengaku cucu dari salah satu pengikut Kartosuwirjo.
Namanya Aden. Mahasiswa asli Ciamis yang kuliah di UGM. Kakeknya adalah pendiri Pesantren di kampungnya. Pemahaman keislamannya hebat. Bacaan Al Qurannya bagus, hafalannya banyak. Wajar, semenjak kecil ia sudah digembleng oleh keluarganya di lingkungan pesantren. Dia sempat banyak bercerita denganku ketika mampir di pondok.
“Tahukah Ente, kalau gerakan NII yang sekarang ini muncul sebenarnya sudah tidak sejalan lagi dengan misi yang dicita-citakan Kartosuwirjo?” Aden mengawali ceritanya. Aku Hanya geleng-geleng kepala. Aden pun melanjutkan kisahnya.
“Sebenarnya Kartosuwirjo memiliki latar belakang keislaman yang baik. Dia adalah panglima Hizbullah wilayah Jawa Barat. Ente kan tahu, Hizbullah adalah salah satu komponen pejuang yang ikut berjasa melawan penjajah. Mereka terdiri dari campuran berbagai ormas Islam pada waktu itu.
Pada tahun 1946, terbentuk Tentara Keamanan Rakyat, dan Hizbullah menjadi salah satu bagiannya. Nah, misi hizbullah tidak lain adalah untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini, dengan menghapuskan penjajahan dari tanah air kita”
“Lantas, kenapa Kartosuwirjo dianggap pemberontak?” aku memotong cerita Aden.
“Pada tahun 1948, ketika terjadi Perjanjian Renville, daerah yang dikuasi rakyat Indonesai semakin kecil karena daerah inclave harus dikosongkan. Nah, Kartosoewirjo tidak mau mengosongkan Jawa Barat. Dia tetap berada di sana untuk melawan Belanda” Aden berhenti sejenak. Ia melihatku yang bersiap-siap hendak menanyakan sesuatu.
“Kenapa Kartosuwirjo tidak patuh pada pemerintah Indonesia? Bukankah perjanjian Renvile adalah kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Belanda?”
Aden menghela nafas panjang, “Relakah Ente, setelah berjuang mati-matian mempertahankan wilayah, tiba-tiba harus menyerahkan wilayah itu begitu saja hanya karena sebuah tanda tangan? Belanda itu sangat licik, mereka memanfaatkan otoritas pemerintah Indonesia untuk menguasai Jawa Barat”
“Licik?”
“Ya, dengan perjanjian Renvile, maka pasukan Kartosuwirjo harus melawan 2 pihak sekaligus, yaitu Belanda dan pasukan Indonesia yang pada waktu itu sudah bernama TRI. Sebenarnya keberadaan Kartosuwiryo di Jawa Barat pun sudah mendapatkan restu dari Panglima Besar Soedirman. Kemungkinan terjadi miss komunikasi antara Jendral Soedirman dengan presiden, sehingga akhirnya Kartosuwirjo dianggap pemberontak.”
“Apa buktinya kalau Jendral Soedirman memberi restu kepada Kartosuwirjo?” Aku penasaran dengan cerita Aden yang tidak ada dalam buku-buku sejarah yang pernah kubaca.
“Pertama, Jendral Soedirman tidak memerintahkan untuk menumpas pasukan Kartosuwirjo. Yang menumpas DI/TII adalah Jendral AH Nasution dan Ibrahim Adji. Kedua, pada waktu Jendral Soedirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di stasiun Tugu Yogyakarta beberapa saat setelah perjanjian Renvile, beliau diwawancarai oleh seorang wartawan tentang siasat perjanjian Renvile yang dianggap merugikan Indonesia.” Aden bernafas sejenak.
“Jendral Soedirman mengatakan bahwa beliau telah menempatkan orang ‘kita’ di sana. Yang dimaksud dengan orang ‘kita’ oleh Jendral Soedirman ternyata adalah Kartosuwiryo. Ini diketahui setelah pada tahun 1977 terbit buku kecil berjudul ‘Himbauan’ yang ditulis oleh Bung Tomo”
Pembicaraan antara aku dan Aden sudah terlalu jauh. Aku berniat untuk kembali ke pokok bahasan awal. “Ente tahu bagaimana kemunculuan NII di masa sekarang ini? Kenapa tadi ente mengatakan kalau mereka sudah tidak satu misi lagi dengan Kartosuwirjo?”
Aden berfikir sejenak. Mungkin sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya kepadaku. Menurutnya, Kartosuwirjo adalah orang yang pemahaman keislamannya bagus. Tetapi gerakan NII yang muncul belakangan ini dipertanyakan keislamannya. Mereka tidak shalat, tidak menjaga hijab, dan masih banyak lagi perilaku mereka yang justru bertentangan dengan Islam.
“Setelah Kartosuwirjo dihukum mati, pengikutnya terpecah belah menjadi dua” Aden memandangiku seolah-olah ingin memastikan kata-katanya benar-benar kudengarkan, “Sama seperti gerakan Islam yang lain, dalam perjuangannya selalu disusup-susupi oleh pihak yang ingin memecah belah. Akhirnya gerakan itu terpecah menjadi 2 golongan. Golongan pertama tetap konsisten dengan nilai-nilai Islam, sedangkan golongan yang lain sudah menyimpang dari nilai-nilai Islam.”
“Misalnya?” Aku memotong lagi. Namun kali ini Aden tidak berfikir panjang untuk menjawab pertanyaanku.
“Misalnya Serikat Islam. SI adalah organisasi Islam yang cukup besar di tanah air dengan pimpinan HOS Cokroaminoto. SI ini kemudian terpecah menjadi SI Putih dengan pimpinan yang tetap, dan SI Merah dengan pimpinan Semaun. Pada mulanya, Semaun adalah pimpinan SI Semarang. Namun karena sering melakukan kontak dengan Kelompok Cahaya Nederland, maka dia terpengaruh oleh aliran Sosialis Marxis. Itulah kenapa SI merah yang dipimpinnya juga berhaluan Sosialis Marxis. Sangat tragis, karena organisasi yang mengaku Serikat Islam itu akhirnya menjadi Partai Komunis Indonesia, yang ajarannya jelas sangat bertentangan dengan Islam.
Ane takut gerakan-gerakan yang mengaku berasas Islam sekarang ini ternyata justru ingin menghancurkan Islam itu sendiri.” Aden mengakhiri ceritanya.
“Wah, ceritamu menarik sekali. Begini Den, aku punya temen juga yang sudah bergabung ke En-Sebelas” Aku langsung to the point, takut pembicaraan kami akan semakin jauh.
“En-I-I?”
“Ya.” Aku membenarkannya. Aden tidak terbiasa dengan istilah En-Sebelas. “Bisa bantu kami untuk mengatasi masalah ini?”
Dengan mantab Aden menjawab, “Serahkan saja pada ane!”

1 komentar:

ARISTIONO NUGROHO mengatakan...

Novelnya bagus terbitkan, saja. Perbaikan memang perlu, tapi jangan lama-lama.