Minggu, 09 September 2007

Sang Munsyid (Bagian 1)

“Juara satunya adalah.....,” Juri yang membaca pengumuman itu berdiam diri sejenak. Bibirnya dijauhkan dari ujung mikrofon. Sepertinya dia memang sengaja membuat orang yang berada di gedung ini semakin penasaran.
Sementara itu, para penonton bersorak-sorak menyebut nama grup Nasyid yang mereka unggulkan akan memenangi perlombaan ini. Seandainya penilaian dilakukan melalui poling, Grup Nasyidku tentu akan menjadi pemenangnya. Separuh lebih isi ruangan dengan kompak menyebut nama Grupku.
AIR….AIR…AIR……
Memang, diantara sekian ratus penonton yang ada, hampir tidak ada satupun yang kenal dengan personil ‘air’. Namun penampilan kami sangat meyakinkan. Tidak ada suara sumbang yang muncul ketika kami mendendangkan Nasyid pilihan panitia. Penuh percaya diri, kami unjuk kebolehan dengan gaya panggung yang cukup menawan. Siapa yang melihat akan mengira bahwa kami adalah grup nasyid yang sudah berpengalaman. Padahal kami menganggap ini adalah suatu keajaiban yang sangat langka terjadi.
Juri itu kini kembali mendekatkan bibirnya ke ujung mikrofon, membuat seisi gedung tiba-tiba hening ketika menyaksikan hal itu. Ia seolah-olah menjadi seorang dirijen yang memimpin sebuah pertunjukan musik di gedung ini.
Dari struktur bangunannya, aku tahu kalau gedung ini sebenarnya terdiri dari tiga ruang yang antara satu ruang dan ruang yang lain dibatasi oleh sekat kayu. Sekat itu bisa dibongkar sewaktu-waktu jika ada acara yang memakan banyak tempat seperti sekarang ini. Gedung serbaguna. Ya, nama itulah yang menurutku sesuai dengan model gedung ini.
“Kami ulangi,” Juri itu menghela nafas sejenak. Aku jadi gemas karena kesal menunggunya.
“Juara satu, dengan perolehan nilai 255 adalah …….
Jantungku berdetak kencang. Lebih cepat dari pergerakan jarum jam yang tertempel di bagian depan gedung ini.
Nomor undi empat, AIR…..,”
Sorak-sorai dan tepuk tangan kembali memenuhi gedung itu. Kami saling bersalaman mendengar nama ‘air’ disebut. Keputusan juri ternyata sama dengan apa yang dipikirkan oleh sebagian besar penonton. ‘air’ layak menjadi juara.
“Kepada perwakilan dari ketiga pemenang diharapkan untuk maju ke depan.” Kali ini MC yang berbicara. Kami saling tunjuk untuk menjadi wakil penerima hadiah, karena manajer kami sedang mengantarkan Alfin ke suatu tempat. Setyo yang akhirnya mengalah. Ia pun segera maju ke depan untuk mengambil hadiah. Aku, Itok, Syahid, dan Arif masih tetap duduk di bangku penonton menyaksikan Setyo yang dengan tegap berjalan ke podium. Sayang sekali Alfin tidak ada di sini.
MC itu melanjutkan kata-katanya. “Juara pertama berhak mendapatkan Trofi Wali Kota dan uang pembinaan. …..”
Setyo menerima piala Walikota, mengangkatnya tinggi-tinggi, kemudian bersalaman dengan panitia penyelenggara segera setelah menerima amplop yang berisi uang pembinaan. Kami berempat hanya bertepuk tangan dari belakang.
“Eh, kayaknya piala itu cocok deh kalau dipajang di ruang tamu rumahku.” Aku berkata kepada Itok yang duduk di sampingku. Sekedar iseng.
“Jangan. Mendingan dititipkan di Kost-ku saja. Kan nggak terlalu jauh. Nanti kalau ada stand pengenalan UKM, kita pajang aja di stand-nya UKKI.” Syahid yang ternyata sempat mendengar perkataanku tidak sepakat dengan kata-kataku tadi.
“Dari pada gitu, mendingan langsung aja di pajang di Sekretariat UKKI. Lebih praktis, sekaligus bisa menambah koleksi piala di sana.” Kali ini giliran Arif yang bersuara.
“Sudah, jangan rebutan.” Itok berusaha melerai kami bertiga. “Ane punya ide yang lebih bagus.”
“Ide apa?” Syahid menimpali.
“Untuk sementara, Trofi itu kita pajang di Sekretariat UKKI. Bagaimana pun, grup Nasyid ini terbentuk karena jasa UKKI. Nah, beberapa kurun waktu setelah itu, tropi itu boleh dibawa pulang oleh salah seorang diantara kita, yang….” Itok menghentikan kata-katanya.
“Yang apa?” aku penasaran.
Itok tersenyum. Pandangannya melirik ke arah kami satu per satu.
“YANG PALING DULU NIKAHNYA!” Itok meneruskan kata-katanya dengan tegas, lalau mata sebelah kirinya dikedip-kedipkan. “Sepakat?”
Kami saling bertatapan sejenak. Tidak lama kemudian secara kompak kami mengatakan sebuah jawaban yang sama dengan pertanyaannya.
“Sepakat!”
*
Namaku Budi Gunawan. Aku anak ke 4 dari 4 bersaudara. Sebenarnya orang tuaku hendak memberiku nama Budi Pamungkas karena mereka menginginkan aku menjadi anak terakhirnya. ‘Pamungkas’ sendiri berasal dari bahasa jawa ‘pungkasan’ yang berarti terakhir. Namun setelah dipikirkan matang-matang, nama itu urung diberikan. Mungkin hal ini disebabkan karena orang tuaku masih ragu dengan keahlian dokter yang menangani KB. He-he.
Pada waktu TK, aku dipanggil Budi oleh teman-temanku. Namun ketika kelas satu, nama Budi-ku menjadi bahan olok-olokan. Wajahku sama sekali tidak mirip dengan tokoh ‘Budi’ yang ada dalam buku paket Bahasa Indonesia. Ketika aku ‘konsultasikan’ dengan Bapak, beliau tersenyum. “Ya Sudah, besok kamu dipanggil Igun saja ya?” Sejak saat itu, aku tidak mau lagi dipanggil Budi. Bila ada temanku memanggil dengan ‘Budi’, aku segera berteriak lantang; PANGGIL AKU IGUN, JANGAN BUDI!
Aku lahir tanggal 2 Mei 1985, hari Pendidikan Nasional. Tahu kan, kalau hari Pendidikan Nasional ditetapkan pada tanggal itu karena Ki Hajar Dewantoro lahir pada tanggal tersebut? Jika kita teringat nama Ki Hajar Dewantoro, tentu kita juga mengingat nama salah satu teman perjuangan beliau yang ikut membantu memajukan pendidikan di Indonesia. Dialah Edward Dowes Deker atau kita kenal dengan nama Setia Budi. Nah, nama depanku ‘nyontek’ nama pahlawan kita itu.
Nama belakang ‘Gunawan’ diberikan karena ayahku terinspirasi oleh salah satu tokoh wayang yang hidup di jaman Ramayana : Gunawan Wibisono. Wibisono adalah anggota keluarga kerajaan Ngalengka, adik dari Rahwana. Walaupun hidup di kalangan Raksasa, tetapi Gunawan Wibisono mempunyai paras dan hati ksatria. Ayahku ingin agar aku menjadi seseorang yang berjiwa ksatria, meski hidup di tengah-tengah ‘keangkaramurkaan’ dunia. cieee
Saat ini aku kuliah di UNY, tepatnya di Fakultas Ilmu Sosial. Sudah hampir satu tahun ini aku juga mempunyai aktifitas rutin di luar perkuliahan. Aku adalah pengurus Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) Jama’ah Al Mujahidin UNY. Rohisnya UNY.
UKKI merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa di UNY yang berada di bawah naungan kebijakan Pembantu Rektor III. Organisasi ini akan mendapatkan bantuan pendanaan setiap kali mengadakan kegiatan, jika mengirimkan surat permohoman dana kepada PR III yang dilampiri proposal kegiatan.
Memang, dana yang diberikan untuk membiayai kegiatan tidak selalu 100 persen dari dana yang diminta. Tapi inilah yang menjadi ‘seni’ dalam berorganisasi. UKKI harus pandai-pandai dalam menyiasati penggunaan dana yang terbatas untuk melaksanakan suatu kegiatan. Caranya bermacam-macam, bisa dengan mencari sponsorship, donatur, atau mengambil sebagian dari iuran anggotanya.
Di awal kepengurusan, UKKI sudah diminta menyerahkan daftar program kerja yang berisi kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan selama setahun kepengurusan. Nah, sebelum direalisasikan dalam kegiatan yang nyata, sebuah program kerja memerlukan banyak pertimbangan, pemikiran, biaya, serta SDM yang terkait dengan program kerja tersebut. Untuk itu, jauh hari sebelum kegiatan, pengurus UKKI melaksanakan agenda rapat pada hampir setiap minggunya. Agenda rapat tersebut biasanya dilaksanakan di sekretariat UKKI.
Sekretariat UKKI terletak di lantai II rektorat lama UNY tepat di bagian tengahnya. Namun karena ada sekat di bagian tengahnya itu, hanya ada satu tangga yang bisa dilewati untuk bisa sampai ke ruangan tersebut. Jika dilihat secara sekilas, maka ruangan itu terlihat paling ujung.
Beberapa UKM mempunyai ruang sekretariat yang berdampingan dengan Sekretariat UKKI. Ruangan-ruangan itu saling berhimpitan, memanjang dari Selatan ke Utara dengan pintu berada di sisi Utara-nya. Hampir setiap minggu aku berjalan menaiki tangga di rektorat lama, kemudian melewati lorong di depan deretan-deretan sekretariat UKM untuk bisa sampai ke basecamp-ku itu.
Sekretariat UKKI yang berukuran kurang lebih 3x8 meter itu semula tidak ada sekatnya. Kemudian oleh pengurus diberi sekat kayu pada seperempat sisi paling selatan menjadi sebuah bilik kecil sebagai tempat penyimpanan barang. Sedangkan tiga perempat bagian di sebelah utaranya dibagi lagi menjadi dua dengan hijab kain. Pada waktu syuro[1], hijab itu biasanya dibuka. Sisi sebelah selatan hijab digunakan untuk tempat duduk pengurus ikhwan [2] sedangkan sisi sebelah utaranya untuk yang akhwat. Mereka, ikhwan-akhwat menghadap ke arah papan whiteboard yang ditempel di sekat kayu. Setelah rapat usai, bisanya hijab ditutup kembali.
Adanya hijab di ruangan ini tidak lain adalah sebagai sarana untuk membatasi pandangan antara pengurus putra dengan putri selama berkomunikasi. Dengan demikian, kecil kemungkinan fitnah yang muncul meskipun terjadi interaksi antar pengurus pada satu ruang. Walaupun begitu, aku menjadi merasa sedikit aneh karena hingga saat ini, aku belum bisa membedakan nama-nama pengurus yang akhwat. Maklum, aku hampir tidak pernah bertatapan langsung dengan mereka.
Tapi itu tidak penting. Yang terpenting adalah, bagaimana pengurus bisa mengerjakan tugasnya dengan baik, solid, serta kompak, dengan tetap menjaga akhlaknya sebagai kaum muslimin.

*
Hari ini barangkali menjadi pertemuan formal bidang Seni Budaya Islam yang terakhir. Sebentar lagi akan diadakan Musyawarah Anggota tahunan UKKI. Dan kami, pengurus UKKI disibukkan dengan agenda pembuatan Laporan Pertanggungjawaban Bidang. Laporan tersebut harus sudah masuk ke meja panitia selambat-lambatnya satu minggu sebelum pelaksanaan Mustah. Itulah kenapa keberadaan kami di sekretariat lebih lama dari biasanya.
“Mas Heru, bisa Pinjam uang nggak?” aku berkata malu-malu dengan agak berbisik pada Mas’ul-ku di sela-sela kesibukan. Aku yakin beliau pasti bisa membantuku. Sudah tiga minggu aku tidak pulang kampung, dan saat ini uangku sudah habis. Sementara, keberadaanku di Jogja sangat dibutuhkan oleh beliau karena LPJ belum terselesaikan.
Mas Heru menghentikan kesibukannya. Dokumen-dokumen kegiatan masa lalu yang tadi dipegang kini dibiarkan tergeletak dihadapannya. Ia lalu mengambil dompet di saku belakangnya, lalu membuka benda yang telah lusuh itu. Tak lama kemudian, selembar uang lima puluh ribuan diacungkannya padaku. “Cukup?”
“Insya Allah,” Aku memasukkan uang itu ke dalam dompet. Namun aku merasa masih ada yang kurang.
“Akhi[3],” Aku kembali memanggil Mas Heru. Kali ini dengan panggilan ‘standar’ rohis. Panggilan seperti itulah yang bisa membuat kami merasa akrab. Persaudaraan Islam benar-benar terealisasikan dalam perkataanku.
“Minta pulsanya boleh tidak? Saya harus memberitahu orang rumah kalau minggu ini belum bisa pulang.” lagi-lagi aku berbisik kepada beliau.
“Aduh, afwan[4] Akh, pulsa saya pas kebetulan lagi habis” Mas Heru menjawab berbisik dengan senyum di wajahnya, seolah ingin menghibur dirinya sendiri yang sedang bokek pulsa. Ia Kemudian mengarahkan tubuhnya ke hijab yang sudah tertutup. Masih ada beberapa Akhwat yang duduk di balik hijab itu. “Akhwat ada yang punya pulsa? Saya minta boleh tidak?”
Mas Heru Benar-benar tulus ingin membantuku. Apa pun siap dilakukannya asalkan aku tetap berada di Jogja minggu ini. Meski dengan mempertaruhkan rasa malunya.
“Ada Akh!” Aku tidak tahu itu suara siapa.
Tidak lama kemudian, Salah satu akhwat menyerahkan HP kepada Mas Heru melewati sebelah bawah hijab. Mas Heru segera menyerahkan HP itu padaku. Tanpa menunggu lama, akupun segera menulis pesan singkat yang kutujukan untuk orang tuaku.
AWW. KAGEM BAPAK; “KENG PUTRA MBOTEN SAGED WANGSUL MINGGU MENIKA AMARGI TASIH WONTEN TUGAS INGKANG KEDAH DIPUN RAMPUNGAKEN” [5] IGUN
Kami kembali melanjutkan pekerjaan. Mas Heru mendiktekan laporan kegiatan berdasarkan dokumen yang dipegangnya, sedangkan aku menuliskannya di komputer. Aku tidak tahu persis apa yang dikerjakan oleh para akhwat. Mungkin mereka sedang membantu bendahara bidang membuat laporan keuangan bidang.
[1] Bahasa arab, syuro’ = rapat
[2] Bahasa arab, ikhwan = putra; akhwat = putri
[3] Bahasa arab, akhi = saudaraku (laki-laki). Ukhti = saudaraku (perempuan)
[4] Bahasa arab, afwan = maaf
[5] Jawa= untuk ayahanda; ananda tidak bisa pulang minggu ini karena masih ada tugas yang harus segera diselesaikan.

Tidak ada komentar: